BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika sering dipandang sebagai bahasa atau alat yang akurat untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, fisika, kimia, biologi dan tekhnik. Sebagai bahasa atau alat matematika melayani ilmu-ilmu lain, peran inilah yang digunakan sebagai alasan orang menyebut matematika dengan julukan queen of science (ratunya ilmu). Keine (1973) salah seorang ahli matematika menyatakan bahwa ”Matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam” (Keine dalam Ismail, 2004: 1,3). Dari pendapat Keine dapat dikatakan bahwa matematika dapat dirasakan manfaatnya jika diterapkan pada ilmu lainnya.
Matematika sering dipandang sebagai bahasa atau alat yang akurat untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, fisika, kimia, biologi dan tekhnik. Sebagai bahasa atau alat matematika melayani ilmu-ilmu lain, peran inilah yang digunakan sebagai alasan orang menyebut matematika dengan julukan queen of science (ratunya ilmu). Keine (1973) salah seorang ahli matematika menyatakan bahwa ”Matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam” (Keine dalam Ismail, 2004: 1,3). Dari pendapat Keine dapat dikatakan bahwa matematika dapat dirasakan manfaatnya jika diterapkan pada ilmu lainnya.
Matematika tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kimia, biologi dan teknik seperti yang disebutkan di atas, tetapi juga membantu menyelesaikan permasalahan dalam ilmu agama. Permasalahan yang dimaksud disini adalah khusus pada permasalahan dalam ilmu agama Islam yang berkaitan dengan ilmu faraidh. Ilmu faraidh yaitu ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta warisan bagi ahli waris menurut bagian-bagian yang telah ditentukan Al-Qur’an (Amir, 1996: 8).
Perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh menggunakan perhitungan matematika yang cukup rumit. Materi matematika yang banyak berkaitan dengan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh adalah pecahan. Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan (Panco, 2005: 4).
Hukum mempelajari ilmu faraidh dalam agama Islam fardu kifayah, artinya suatu kewajiban yang telah dianggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang Islam (Muhammad, 1976: 9).
Rasulullah SAW bersabda :
”Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang dan pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena saya adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu itu bakal diangkat. Hampir saja dua orang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorangpun yang sanggup menfatwakannya kepada mereka” (H.R. Ahmad, Annasa’i, dan Ad. Daruquthny dalam Salman, 2002: 4).
Dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu Faraidh dapat penulis katakan bahwa materi pecahan merupakan prasyarat yang harus dikuasai oleh peserta didik MAN 1 Mataram sesuai dengan visinya ”terwujudnya pribadi-pribadi Islam, trampil, unggul dan berkepribadian yang didukung oleh sumber daya manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, tangguh dan disiplin”. Dari sini penulis dapat katakan juga bahwa MAN 1 Mataram mempunyai andil/kontribusi besar dalam menciptakan generasi Islam yang sesuai dengan ajaran agama Islam, sebagai generasi Islam peserta didik MAN 1 Mataram dituntut untuk dapat memberikan pemikiran bagaimana cara menyelesaikan permasalahan yang sering dihadapi oleh umat Islam. Salah satunya adalah mengenai masalah perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Sesuai dengan hasil observasi yang penulis lakukan, materi pecahan sudah diajarkan di Sekolah Dasar yakni kelas IV, V, VI dan berlanjut hingga kelas VII SMP. Adapun ilmu faraidh diberikan pada kelas XI MA. Berdasarkan hal tersebut penulis berasumsi bahwa pengetahuan tentang materi pecahah yang dibutuhkan dalam pembelajaran ilmu faraidh telah didapatkan sehingga mempermudah siswa dalam mengoperasionalkan ketentuan-ketentunan dalam penyelesaian ilmu faraaidh. Namun sesuai dengan hasil observasi sementara yang telah penulis lakukan dapat penulis kemukakan bahwa peserta didik MAN 1 Mataram masih kesulitan dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh, padahal mereka sudah menguasai materi pecahan.
Dari uraian di atas maka penulis mengangkat skripsi yang berjudul ”Pengaruh Penguasaan Materi ”Pecahan” Terhadap Kemampaun Siswa Menyelesaikan Perhitungan Harta Waris dalam Ilmu Faraid di Kelas XI MAN 1 Mataram Tahun Ajaran 2007/2008”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menarik rumusan masalah untuk mempermudah proses penelitian nantinya sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat penguasaan materi pecahan siswa kelas XI MAN 1 Mataram?
2. Bagaimanakah tingkat penguasaan konsep ilmu faraidh siswa kelas XI MAN 1 Mataram?
3. Adakah pengaruh penguasaan materi ”pecahan” terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008”.
1. Bagaimana tingkat penguasaan materi pecahan siswa kelas XI MAN 1 Mataram?
2. Bagaimanakah tingkat penguasaan konsep ilmu faraidh siswa kelas XI MAN 1 Mataram?
3. Adakah pengaruh penguasaan materi ”pecahan” terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008”.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang hendak dipecahkan, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi pecahan siswa kelas XI MAN 1 Mataram.
2. Untuk mengetahui tingkat penguasaan konsep ilmu faraidh siswa kelas XI MAN 1 Mataram?
3. Untuk mengetahui pengaruh penguasaan materi “pecahan” dengan kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008”.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang pentingnya penguasaan materi pecahan dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh, selain dari menjalankan kewajiban sebagai umat Islam yakni mempelajari ilmu faraidh (wajib kifayah).
2. Kegunaan Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidik, peserta didik dan sekolah. Adapun manfaat yang dapat diberikan bagi pendidik adalah pendidik dapat menemukan format rancangan pembelajaran mengingat matematika sebagai alat dalam menyelesaikan permasalahan dalam ilmu faraidh, sedangkan bagi peserta didik, penelitian ini dapat meningkatkan kualitas belajarnya dan mengembangkan kemampuan berfikirnya, sedangkan bagi sekolah penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi sekolah dalam meningkatkan kualitas belajar siswa khususnya dalam proses pembelajaran matematika dan mata pelajaran lain pada umumnya.
E. Batasan Istilah
1. Pecahan
Pecahan adalah “bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005: 44). Dari definisi tersebut dapat penulis kemukakan bahwa setiap bentuk a dengan b (a dan b adalah bilangan bulat) dinyatakan sebagai a/b dengan b ≠ 0 dinamakan pecahan.
Pada skripsi ini penulis membahas tentang penggunaan materi pecahan. Penguasaan materi pecahan meliputi :
a. Siswa mampu mendefinisikan pecahan dan menyebutkan anggota-anggota pecahan
b. Siswa mampu menyebutkan dan menunjukkan bentuk-bentuk pecahan
c. Siswa mampu mengoperasikan operasi hitung pecahan
Apabila siswa kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008 menguasai ketiga hal di atas, maka telah dianggap menguasai materi pecahan. Adapun bentuk-bentuk pecahan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah :
a. Pecahan biasa
Bentuk-bentuk seperti ½, ¼ dan ¾ disebut pecahan biasa. Suatu pecahan dapat memiliki nama pecahan yang nilainya sama atau bisa disebut dengan pecahan senilai. Contohnya ½ juga dapat dinamakan dengan 2/4, 3/6, dan 5/10.
b. Pecahan campuran
Pecahan campuran yaitu campuran suatu bilangan cacah dengan pecahan biasa. Contoh : 3 1/2, 1 2/3, 5 4/9.
c. Pecahan desimal
Pecahan desimal yaitu pecahan yang ditulis dalam bentuk desimal. Contohnya 5/10 dapat dinyatakan dalam pecahan desimal sebagai 0,3.
d. Pecahan dalam bentuk persen dan eprmil
Suatu pecahan berbentuk persen jika penyebutnya dinyatakan seratus dan disimbolkan dengan o/o. Sedangkan suatu pecahan disebut permil jika penyebutnya dinyatakan dengan seribu atau disimbolkan dengan o/oo (Firmanwaty, 2003: 38).
1. Kegunaan Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang pentingnya penguasaan materi pecahan dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh, selain dari menjalankan kewajiban sebagai umat Islam yakni mempelajari ilmu faraidh (wajib kifayah).
2. Kegunaan Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidik, peserta didik dan sekolah. Adapun manfaat yang dapat diberikan bagi pendidik adalah pendidik dapat menemukan format rancangan pembelajaran mengingat matematika sebagai alat dalam menyelesaikan permasalahan dalam ilmu faraidh, sedangkan bagi peserta didik, penelitian ini dapat meningkatkan kualitas belajarnya dan mengembangkan kemampuan berfikirnya, sedangkan bagi sekolah penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi sekolah dalam meningkatkan kualitas belajar siswa khususnya dalam proses pembelajaran matematika dan mata pelajaran lain pada umumnya.
E. Batasan Istilah
1. Pecahan
Pecahan adalah “bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005: 44). Dari definisi tersebut dapat penulis kemukakan bahwa setiap bentuk a dengan b (a dan b adalah bilangan bulat) dinyatakan sebagai a/b dengan b ≠ 0 dinamakan pecahan.
Pada skripsi ini penulis membahas tentang penggunaan materi pecahan. Penguasaan materi pecahan meliputi :
a. Siswa mampu mendefinisikan pecahan dan menyebutkan anggota-anggota pecahan
b. Siswa mampu menyebutkan dan menunjukkan bentuk-bentuk pecahan
c. Siswa mampu mengoperasikan operasi hitung pecahan
Apabila siswa kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008 menguasai ketiga hal di atas, maka telah dianggap menguasai materi pecahan. Adapun bentuk-bentuk pecahan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah :
a. Pecahan biasa
Bentuk-bentuk seperti ½, ¼ dan ¾ disebut pecahan biasa. Suatu pecahan dapat memiliki nama pecahan yang nilainya sama atau bisa disebut dengan pecahan senilai. Contohnya ½ juga dapat dinamakan dengan 2/4, 3/6, dan 5/10.
b. Pecahan campuran
Pecahan campuran yaitu campuran suatu bilangan cacah dengan pecahan biasa. Contoh : 3 1/2, 1 2/3, 5 4/9.
c. Pecahan desimal
Pecahan desimal yaitu pecahan yang ditulis dalam bentuk desimal. Contohnya 5/10 dapat dinyatakan dalam pecahan desimal sebagai 0,3.
d. Pecahan dalam bentuk persen dan eprmil
Suatu pecahan berbentuk persen jika penyebutnya dinyatakan seratus dan disimbolkan dengan o/o. Sedangkan suatu pecahan disebut permil jika penyebutnya dinyatakan dengan seribu atau disimbolkan dengan o/oo (Firmanwaty, 2003: 38).
Sedangkan operasi tentang pecahan yang dimaksud adalah “operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian” (Panco, 2005: 68 dan 72),
2. Ilmu Faraidh
Ilmu faraidh atau yang disebut juga ilmu mawaris adalah “ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris menurut bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an” (Amir 1996: 8). Menurut pendapat lain ilmu faraidh adalah “ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya” (Hasbi As-Shiddiqh dalam Dian Khairul Amam, 1999: 14).
Dari kedua pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa ilmu mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
Dalam skripsi ini penulis hanya membahas tentang kemampuan siswa kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008 dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris merupakan bagaimana siswa dapat menerapkan konsep hitung yang dimilikinya dalam menyelesaikan soal-soal yang ada pada perhitungan harta waris. Namun terlepas dari hal terebut, yang harus diketahui oleh siswa adalah ketentuan bagian masing-masing ahli waris (furudhul muqaddarah) yang meliputi ½, ¼, 1/3, 1/6, 1/8 dan 2/3 yang telah ada ketentuan tersebut (djawil furudh), ashabah dan dzawil arham.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2. Ilmu Faraidh
Ilmu faraidh atau yang disebut juga ilmu mawaris adalah “ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris menurut bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an” (Amir 1996: 8). Menurut pendapat lain ilmu faraidh adalah “ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya” (Hasbi As-Shiddiqh dalam Dian Khairul Amam, 1999: 14).
Dari kedua pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa ilmu mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
Dalam skripsi ini penulis hanya membahas tentang kemampuan siswa kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008 dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris merupakan bagaimana siswa dapat menerapkan konsep hitung yang dimilikinya dalam menyelesaikan soal-soal yang ada pada perhitungan harta waris. Namun terlepas dari hal terebut, yang harus diketahui oleh siswa adalah ketentuan bagian masing-masing ahli waris (furudhul muqaddarah) yang meliputi ½, ¼, 1/3, 1/6, 1/8 dan 2/3 yang telah ada ketentuan tersebut (djawil furudh), ashabah dan dzawil arham.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pecahan
1. Definisi pecahan dan fungsinya
Bilangan pecahan adalah “bilangan yang disajikan dalam bentuk a/b dengan a, b anggota bilangan bulat dan b ≠ 0, pada bentuk tersebut a disebut pembilang dan b disebut penyebut. Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005: 44).
Dari definisi di atas dapat penulis kemukakan bahwa setiap bentuk pembagian a dengan b (a dan b adalah bilangan bulat) yang dinyatakan sebagai a/b dengan b ≠ 0 dinamakan pecahan. Bentuk umum a/b dibaca “a per b”, a sebagai pembilang dan b sebagai penyebut.
Bilangan pecahan juga dinamakan bilangan rasional. Bilangan ini menyatakan bagian suatu keseluruhan yang dipersoalkan, bagian dari suatu daerah, bagian dari suatu benda, dan bagian dari suatu himpunan. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari pecahana dalah “menggambarkan bagian dari keseluruhan bilangan”.
2. Bentuk-bentuk Pecahan
Untuk mempermudah dalam menggambarkan pecahan maka penulis cantumkan bentuk-bentuk dari pecahan.
1. Definisi pecahan dan fungsinya
Bilangan pecahan adalah “bilangan yang disajikan dalam bentuk a/b dengan a, b anggota bilangan bulat dan b ≠ 0, pada bentuk tersebut a disebut pembilang dan b disebut penyebut. Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005: 44).
Dari definisi di atas dapat penulis kemukakan bahwa setiap bentuk pembagian a dengan b (a dan b adalah bilangan bulat) yang dinyatakan sebagai a/b dengan b ≠ 0 dinamakan pecahan. Bentuk umum a/b dibaca “a per b”, a sebagai pembilang dan b sebagai penyebut.
Bilangan pecahan juga dinamakan bilangan rasional. Bilangan ini menyatakan bagian suatu keseluruhan yang dipersoalkan, bagian dari suatu daerah, bagian dari suatu benda, dan bagian dari suatu himpunan. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari pecahana dalah “menggambarkan bagian dari keseluruhan bilangan”.
2. Bentuk-bentuk Pecahan
Untuk mempermudah dalam menggambarkan pecahan maka penulis cantumkan bentuk-bentuk dari pecahan.
Adapun bentuk-bentuk dari pecahan adalah sebagai berikut :
a. Pecahan biasa
Bentuk-bentuk seperti ½, ¼ dan ¾ disebut pecahan biasa, suatu pecahan dapat memiliki beberapa nama pecahan yang nilainya sama, contohnya ½ juga dapat dinamakan 2/4, 3/6, 4/8 dan 5/10. Nama-nama lain tersebut bisa diperoleh dengan cara mengalikan pembilang dan penyebutnya dengan bilangan yang sama.
Bentuk-bentuk seperti 1/2, 1/4, dan ¾ disbut pecahan biasa. Suatu pecahan dapat memiliki beberapa nama pecahan yang nilainya sama atau yang biasa disebut dengan pecahan senilai. Contohnya 1/2 juga dapat dinamakan dengan 2/4, 3/6, 4/8 dan 5/10. Nama-nama lain tersebut biasa diperoleh dengan cara mengalikan pembilang dan penyebutnya dengan bilangan yang sama. Berikut penulis sajikan intersepsi dari uraian tersebut.
1/2 =
1/2 =
1/2 =
1/2 =
b. Pecahan campuran
Pecahan campuran yaitu campuran suatu bilangan cacah dengan pecahan biasa. Contoh : 3 ½, 1 2/3, 5 4/9.
Pecahan campuran yaitu campuran suatu bilangan cacah dengan pecahan biasa. Bilangan cacah yaitu bilangan yang dimulai dari 0, 1, 2, 3, …….dan seterusnya. Sesuai dengan definisi bilangan cacah {0, 1, 2, 3,…..} dicampurkan dengan pecahan biasa misalnya : 1/2, 2/3, 4/9 maka akan menjadi pecahan campuran.
Contoh : 3 adalah bilangan cacah
1/2 adalah pecahan biasa
Bila dicampurkan menjadi 3½
c. Pecahan desimal
Pecahan desimal yaitu pecahan yang ditulis dalam bentuk desimal, contohnya 3/10 dapat dinyatakan dalam pecahan desimal sebagai 0,3 (Firmanawaty, 2003: 38).
Pecahan desimal yaitu pecahan yang ditulis dalam bentuk desimal. Contoh :
1) 3/10 dapat dinyatakan dalam pecahan desimal sebagai 0,3 karena :
2) dapat dinyatakan dalam pecahan desimal sebagai 1,66 karena :
Jadi, 5/3 = 1,666…..
Bentuk desimal sepertu 1,666…..disebut desimal berulang (Firmanawaty, 2003: 38)
d. Pecahan dalam bentuk persen dan permil
Suatu pecahan berbentuk persen jika penyebutnya dinyatakan seratus dan disimbolkan “o/o” (Firmanawaty).
Jika pecahan-pecahan tersebut diubah ke bentuk perseratus maka dengan cepat dapat membandingkan pecahan-pecahan tersebut.
Untuk mengubah bentuk pecahan kebentuk persen maka dapat digunakan salah satu cara berikut :
1) Mengubah pecahan semula menjadi pecahan senilai dengan penyebut 100
2) Pecahan semula dikalikan dengan 100 o/o (Panco, 2005: 64)
Untuk lebih jelasnya berikut contoh dalam bentuk persen :
1) 0,5 =
2) 0,45 =
3) 75% =
4) 100% =
5) 0,261 =
Pecahan dalam bentuk perseribu disebut permil dan disimbolkan dengan ”o/oo” (panco, 2005: 65).
Contoh :
1) 325 o/oo =
2) 1000 o/oo =
3) 10000 o/oo =
4) 0,999 =
5) 0,11 = o/oo
Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa untuk mengubah bentuk permil dapat digunakan salah satu cara berikut :
1) Mengubah pecahan semula menjadi pecahan senilai dengan penyebut 1000
2) Pecahan semula dikalikan dengan 1000 o/oo (Panco, 2005: 65)
3. Operasi Hitung Pada Pecahan
a. Operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan
Sebelum membahas operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan penulis mengingatkan kembali sifat-sifat operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.
Sifat-sifat operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat untuk a, b, dan c anggota himpunan bilangan bulat berlaku :
1) a + b = b + a (sifat komutatif)
2) (a + b) + c = (a + (b + c) (sifat asosiatif)
3) a + 0 = 0 + a = a (0 adalah usur identitas pada penjumlahan)
4) a + (a) = (-a) + a = 0 (-a adalah invers atau lawan dari a terhadap operasi penjumlahan dan sebaliknya)
5) a – b = a + (-b) (Panco, 2005: 68)
Sifat-sifat pada operasi penjumlahan dan pengurangan pada biilangan bulat ini juga berlaku pada operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan.
Contoh :
1) =
=
=
=
Jadi sifat komutatif berlaku pada pecahan
2) =
=
=
=
Jadi sifat asonatif berlaku pada pecahan
3)
Jadi 0 adalah unsur identitas pada penjumlahan bilangan cacah
4)
Setiap pecahan memiliki invers
b. Perkalian dan pembagian pecahan
Sifat-sifat operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat juga berlaku pada operasi perkalian dan pembagian pecahan.
Sifat-sifat operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat :
1) a x b = b x a (sifat kumutatif)
2) (a x b) x c = a x (b x c) (sifat asosiatif)
3) a x 1 = 1 x a (1 adalah unsur identitas pada perkalian)
4) a x (-b) = - (a x b); -a x b = - (a x b; -a x (-b) = a x b
5) a : b = c artinya sama dengan a = b x c
(Panco, 2005: 72).
Contoh :
a) =
=
b) =
=
=
c) =
=
1 unsur identitas perkalian bilangan cacah
d)
Dari bentuk dan operasi-operasi pecahan yang diuraikan di atas dapat penulis asumsikan bahwa :
a. Pecahan dapat disederhanakan
Pecahan paling sederhana dapat diperoleh jika pembilang dan penyebut pecahan semula dibagi dengan faktor persekutuan terbesar (FPB-nya) (Panco, 2005: 47). Dari pendapat Panco tersebut suatu pecahan dikatakan sederhana jika pembilang dan penyebutnya tidak mempunyai faktor persekutuan lagi, kecuali 1 (satu). Nilai suatu pecahan tidak akan berubah jika pembilang dan penyebutnya dikalikan atau dibagi dengan bilangan yang sama.
Contoh :
1) Nyatakan pecahan dalam bentuk pecahan paling sederhana
Jawab :
FPB dari 36 dan 48 adalah 12
2) Nyatakan pecahan dalam bentuk pecahan paling sederhana
Jawab :
FPB dari 12 dan 18 adalah 6
b. Pecahan biasa dapat diubah menjadi pecahan campuran, pecahan desimal, persen dan permil begitu pula sebaliknya
1) Mengubah pecahan biasa ke pecahan campuran atau sebaliknya
Mengubah pecahan campuran menjadi pecahan biasa dapat dilakukan dengan mengalikan bilangan bulatnya dengan penyebutnya, kemudian tambahkan dengan pembilangnya. Hasil operasi tersebut dijadikan pembilang, sedangkan penyebutnya sama dengan penyebut pecahan campuran.
Contoh :
a) b)
Jadi, Jadi,
Bilangan biasa dapat diubah menjadi bilangan campuran dengan syarat pembilangnya lebih besar dari penyebutnya. Caranya membagi pembilang dengan penyebutnya, kemudian jadikan sisa pembagiannya sebagia pembagian baru.
Contoh :
a) 7 bersisa 2
Jadi
b) bersisa 3
Jadi
2) Mengubah pecahan biasa ke pecahan desimal atau sebaliknya
Mengubah suatu pecahan biasa menajdi pecahan desimal berarti membagi pembilang terhadap penyebutnya. Jika pembilang lebih kecil daripada penyebut maka cara pembagiannya adalah kalikan penyebut dengan 10, 100, 1000 dan seterusnya dan bagi hasilnya dengan 10, 100, 1000 dan seterusnya.
Contoh :
a) b)
2) Mengubah pecahan desimal menjadi pecahan biasa
a) 0,4 =
b) 0,125 =
3) Mengubah pecahan biasa ke persen atau sebaliknya
Mengubah sautu pecahan bisa menjadi persen berarti mengubah pecahan biasa terebut menajdi bentuk perseratus. Pecahan biasa 1/4 dapat diubah menjadi pecahan desimal dengan cara menjadikan penyebutnya 100. Yang perlu diingat bahwa perubahan terebut tidak mengubah nilai pecahan semula.
Contoh :
a) =
b) =
4) Mengubah pecahan biasa ke permil atau sebaliknya
Mengubah pecahan biasa menjadi permil berarti mengubah pecahan biasa menjadi bentuk per seribut. Cara mengubahnya yaitu dengan menjadikan penyebutnya 1000. Yang perlu diingat bahwa perubahan tersebut tidak mengubah nilai pechaan semula.
Contoh :
a) =
b) =
B. Ilmu Faraidh
1. Definisi ilmu faraidh dan kegunaannya dalam masyarakat
a. Definisi ilmu faraidh
Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan jenis harta yang dilarang mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik, diantara harta yang halal (boleh) diambiil adalah harta pusaka. Pembagian harta pusaka dibahas dalam ilmu faraidh.
Ilmu faraidh atau yang disebut juga ilmu waris adalah ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris menurut bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an (Amir, 1996: 8). Menurut pendapat lain ilmu faraidh adalah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagainnya (Hasbi Ash-shiddiq dalam Dian Khairul Amam, 1999: 14).
Dari kedua pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa ilmu mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar-kecilnya oleh syara’.
Pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris dicantumkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176.
1) Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 7
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (Depag, 1989: 116).
2) Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12
2) Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semunya perempuan lebh dari dua, maka baigan mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat dan sudah dibayar hutangnya (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui saia diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi bijaksana” (11) (Depag RI, 1989: 116).
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”(12) (Depag, 1989: 117).
3) Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 176
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Depag, 1989: 153).
b. Kegunaan ilmu faraidh dalam masyarakat
Dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syari’at Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula belajar dan mengajarkannya. Ada beberapa manfaat ilmu faraidh di dalam masyarakat yang dapat penulis kemukakan diantaranya :
1) Memelihara hubungan keluarga muslim
Dalam Al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa anak adalah ahli waris pertama dan utama, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dengan ini, maka kehidupan si anak tidak terlantar, karena minimal ia telah punya modal untuk hidup dari harta yang ditinggalkan orang tuanya.
Disamping itu harta waris juga dibagikan kepada ahli waris yang ada hubungan darah atau karena pernikahan atau perkawinan. Dengan pembagian harta warisan itu, maka terpeliharalah hubungan keluarga muslim, baik antara orang yang meninggal dengan ahli waris maupun sesama ahli waris.
2) Menjunjung tinggi perintah Allah dan sunnah rasul
Kaum muslimin bila telah melakukan pembagian warisan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an berarti telah meletakkan sebagian hukum Allah di atas hukum-hukum yang lain. Faraidh merupakan salah satu bagian yang penting dari ajaran Rasulullah SAW. Melaksanakan ajaran Nabi ini, sebenarnya menjadi bukti kecintaan dan kepatuhan kepadanya dan sekaligus menjunjung tinggi sunahnya.
3) Mewujudkan keadilan berdasarkan syari’at Islam
Keadilan dalam hal harta warisan adalah bagaimana membaginya menurut ketentuan-ketentuan hukum warisan berdasarkan syari’at Islam. Apabila umat Islam melaksanakan pembagian warisan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka keadilan akan terwujud dimuka bumi ini. Dengan terwujudnya keadilan akan sejahteralah keluarga dan seluruh umat.
c. Perhitungan di dalam ilmu faraidh
Ada beberapa bentuk pecahan diantaranya adalah “pecahan biasa, pecahan campuran dan pecahan desimal” (Firmanawaty, 2003 : 38). Bentuk-bentuk pecahan ini banyak ditemukan pada penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Selain itu, pada penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh banyak digunakan operasi hitungan pecahan seperti operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Dari sini penulis dapat mengatakan bahwa “perhitungan dalam ilmu faraidh sangat berkaitan dengan materi pecahan”. Untuk memudahkan penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh perlu diketahui ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris (farudhul muqaddarah) sebagaimana yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah :
Adapun yang termasuk furudhul muqaddarah ada 6 (enam) macam, yaitu :
1) Seperdua (1/2)
2) Dua pertiga (2/3)
3) Seperenam (1/6)
4) Sepertiga (1/3)
5) Seperempat (1/4)
6) Seperdelapan (1/8)
Adapun rincian ahli waris yang mendapat warisan sesuai dengan furudhul muqaddarah adalah sebagai berikut :
1) Ahli waris yang mendapat bagian seperdua (1/2)
- Anak perempuan tunggal
- Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
- Saudara perempuan tunggal yang kandung
- Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara perempuan yang dikandung tidak ada
- Suami, apabila istri tidak mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki
2) Ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga (2/3)
- Dua anak perempuan atau lebih, mereka mendapat dua pertiga, apabila tidak ada anak laki-laki
- Dua orang cucu perempuan atau lebih dan anak laki-laki, apabila anak perempuan tidak ada
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang kandung
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
3) Ahli waris yang mendapat bagian seperenam (1/6)
- Ibu si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, atau saudara (laki-laki atau perempuan) yang kandung, sebapak atau seibu
- Bapak si mayat, apabila yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
- Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) si mayat, apabila yang meninggal tidak mempunyai ibu
- Cucu perempuan (seorang atau lebih) si mayat dari anak laki-laki apabila yang meninggal mempunyai anak perempuan tunggal. Akan tetapi apabila mempunyai anak perempuan lebih dari satu, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat warisan
- Kakek si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, sedang bapaknya tidak ada
- Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu)
- Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu
- Saudara perempuan si mayat yang sebapak (seorang atau lebih), apabila yang meninggal mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Apabila mempunyai saudara lebih dari satu, maka saudara perempuan sebapak tadi tidak mendapat warisan.
4) Ahli waris yang mendapat bagian seperti (1/3)
- Ibu si mayat, apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu, atau tidak mempunyai saudara kandung sebapak atau seibu
- Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu
5) Ahli waris yang mendapat bagian seperempat (1/4)
- Suami si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
- Istri si mayat (seorang atau lebih), apabila yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dan anak laki-laki
6) Ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan (1/8)
Istri si mayat (seorang atau lebih) mendapat 1/8 dari harta yang ditinggalkan suaminya apabila suaminya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (Amir, 1999: 25-26).
Dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syari’at Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula belajar dan mengajarkannya. Ada beberapa manfaat ilmu faraidh di dalam masyarakat yang dapat penulis kemukakan diantaranya :
1) Memelihara hubungan keluarga muslim
Dalam Al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa anak adalah ahli waris pertama dan utama, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dengan ini, maka kehidupan si anak tidak terlantar, karena minimal ia telah punya modal untuk hidup dari harta yang ditinggalkan orang tuanya.
Disamping itu harta waris juga dibagikan kepada ahli waris yang ada hubungan darah atau karena pernikahan atau perkawinan. Dengan pembagian harta warisan itu, maka terpeliharalah hubungan keluarga muslim, baik antara orang yang meninggal dengan ahli waris maupun sesama ahli waris.
2) Menjunjung tinggi perintah Allah dan sunnah rasul
Kaum muslimin bila telah melakukan pembagian warisan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an berarti telah meletakkan sebagian hukum Allah di atas hukum-hukum yang lain. Faraidh merupakan salah satu bagian yang penting dari ajaran Rasulullah SAW. Melaksanakan ajaran Nabi ini, sebenarnya menjadi bukti kecintaan dan kepatuhan kepadanya dan sekaligus menjunjung tinggi sunahnya.
3) Mewujudkan keadilan berdasarkan syari’at Islam
Keadilan dalam hal harta warisan adalah bagaimana membaginya menurut ketentuan-ketentuan hukum warisan berdasarkan syari’at Islam. Apabila umat Islam melaksanakan pembagian warisan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka keadilan akan terwujud dimuka bumi ini. Dengan terwujudnya keadilan akan sejahteralah keluarga dan seluruh umat.
c. Perhitungan di dalam ilmu faraidh
Ada beberapa bentuk pecahan diantaranya adalah “pecahan biasa, pecahan campuran dan pecahan desimal” (Firmanawaty, 2003 : 38). Bentuk-bentuk pecahan ini banyak ditemukan pada penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Selain itu, pada penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh banyak digunakan operasi hitungan pecahan seperti operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Dari sini penulis dapat mengatakan bahwa “perhitungan dalam ilmu faraidh sangat berkaitan dengan materi pecahan”. Untuk memudahkan penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh perlu diketahui ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris (farudhul muqaddarah) sebagaimana yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah :
Adapun yang termasuk furudhul muqaddarah ada 6 (enam) macam, yaitu :
1) Seperdua (1/2)
2) Dua pertiga (2/3)
3) Seperenam (1/6)
4) Sepertiga (1/3)
5) Seperempat (1/4)
6) Seperdelapan (1/8)
Adapun rincian ahli waris yang mendapat warisan sesuai dengan furudhul muqaddarah adalah sebagai berikut :
1) Ahli waris yang mendapat bagian seperdua (1/2)
- Anak perempuan tunggal
- Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
- Saudara perempuan tunggal yang kandung
- Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara perempuan yang dikandung tidak ada
- Suami, apabila istri tidak mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki
2) Ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga (2/3)
- Dua anak perempuan atau lebih, mereka mendapat dua pertiga, apabila tidak ada anak laki-laki
- Dua orang cucu perempuan atau lebih dan anak laki-laki, apabila anak perempuan tidak ada
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang kandung
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
3) Ahli waris yang mendapat bagian seperenam (1/6)
- Ibu si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, atau saudara (laki-laki atau perempuan) yang kandung, sebapak atau seibu
- Bapak si mayat, apabila yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
- Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) si mayat, apabila yang meninggal tidak mempunyai ibu
- Cucu perempuan (seorang atau lebih) si mayat dari anak laki-laki apabila yang meninggal mempunyai anak perempuan tunggal. Akan tetapi apabila mempunyai anak perempuan lebih dari satu, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat warisan
- Kakek si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, sedang bapaknya tidak ada
- Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu)
- Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu
- Saudara perempuan si mayat yang sebapak (seorang atau lebih), apabila yang meninggal mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Apabila mempunyai saudara lebih dari satu, maka saudara perempuan sebapak tadi tidak mendapat warisan.
4) Ahli waris yang mendapat bagian seperti (1/3)
- Ibu si mayat, apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu, atau tidak mempunyai saudara kandung sebapak atau seibu
- Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu
5) Ahli waris yang mendapat bagian seperempat (1/4)
- Suami si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
- Istri si mayat (seorang atau lebih), apabila yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dan anak laki-laki
6) Ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan (1/8)
Istri si mayat (seorang atau lebih) mendapat 1/8 dari harta yang ditinggalkan suaminya apabila suaminya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (Amir, 1999: 25-26).
Dari uraian rincian ahli waris yang mendapat warisan sesuai dengan faradhul muqaddarah di atas dapat penulis mengemukakan bahwa ada golongan-golongan ahli waris dalam pembagian harta waris yang dimulai dari hubungan kekerabatan yang terdekat hingga yang terjauh.
Menurut Amir (1999) golongan ahli waris dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Dzawil furudh
Dzawil furudh adalah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dalam hukum Islam. Dalam membagi warisan, ahli waris dzawil furudh harus didahulukan daripada ahli waris ashabah dan dzawil arham. Adapun ahli waris yang termasuk dzawil furudh ada 12 orang, 4 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, mereka itu adalah :
- Dzawil furudh laki-laki mreka itu adalah :
(1) Suami
(2) Ayah
(3) Saudara laki-laki seibu
(4) Kakek dan seterusnya keatas
- Dzawil furudh yang perempuan, mereka itu adalah :
(1) Istri
(2) Anak perempuan
(3) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
(4) Saudara perempuan kandung
(5) Saudara perempuan seayah
(6) Saudara perempuan seibu
(7) Ibu
(8) Nenek
2) Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta warisan atau semua sisa setelah harta warisan dikeluarkan untuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu (dzawil furudh). Dengan demikian, ada kemungkinan dia akan menerima seluruh harta warisan, menerima sisanya atau tidak menerima sama sekali karena telah diambil abis oleh Dzawil furudh.
Menurut Amir (1999) golongan ahli waris dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Dzawil furudh
Dzawil furudh adalah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dalam hukum Islam. Dalam membagi warisan, ahli waris dzawil furudh harus didahulukan daripada ahli waris ashabah dan dzawil arham. Adapun ahli waris yang termasuk dzawil furudh ada 12 orang, 4 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, mereka itu adalah :
- Dzawil furudh laki-laki mreka itu adalah :
(1) Suami
(2) Ayah
(3) Saudara laki-laki seibu
(4) Kakek dan seterusnya keatas
- Dzawil furudh yang perempuan, mereka itu adalah :
(1) Istri
(2) Anak perempuan
(3) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
(4) Saudara perempuan kandung
(5) Saudara perempuan seayah
(6) Saudara perempuan seibu
(7) Ibu
(8) Nenek
2) Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta warisan atau semua sisa setelah harta warisan dikeluarkan untuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu (dzawil furudh). Dengan demikian, ada kemungkinan dia akan menerima seluruh harta warisan, menerima sisanya atau tidak menerima sama sekali karena telah diambil abis oleh Dzawil furudh.
- Ashabah bin Nafsi
Ashabah bin Nafsi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena dirinya sendiri, mereka itu adalah :
(1) Anak laki-laki
(2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah
(3) Ayah
(4) Kakek (dari pihak bapak) keatas
(5) Saudara laki-laki sekandung
(6) Saudara laki-laki seayah
(7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
(8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
(9) Saudara laki-laki ayah kandung
(10) Saudara laki-laki ayah seayah
(11) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman/uak) kandung
(12) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman/uak) seayah
(13) Orang laki-laki yang memerdekakan budak
- Ashabah bil Ghairi
Ashabah bil Ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena ditarik oleh ahli waris yang telah menjadi ashabah. Apabila tidak ada ashabah, maka ia tetap mendapat bagian sebagai ashabul furudh. Mereka itu adalah :
(1) Anak perempuan yang ditarik anak laki-laki
(2) Cucu perempuan yang ditarik cucu laki-laki
(3) Saudara perempuan kandung yang ditarik saudara laki-laki kandung
(4) Saudara perempuan seayah dengan ditarik saudara laki-laki seayah
- Ashabah ma’al Ghairi
Ashabah ma’al ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang bukan ashabah. Apabila ahli waris lain itu tidak ada, maka ia tetap mendapatkan bagian ashabah furudh mereka itu adalah :
(1) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan atau lebih, maka bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
(2) Seorang saudara perempuan seayah atau lebih yang bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
(3) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan dan seorang cucu perempuan
3) Dzawil arham
Dzawil arham adalah keluarga yang mendapat warisan atas nama rahim (keluarga), mereka itu mempunyai hubungan famili dari pihak perempuan. Mereka itu tidak mendpat bagian warisan jika ahli waris dzawil furudh atau ashabah masih ada, mereka adalah keluarga orang yang meninggal, tetapi tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits, yang termasuk dzawil arham adalah :
- Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
Kedudukannya dalam masalah warisan sama dengan anak perempuan. Artinya jika anak perempuan mendapat seperdua (1/2), maka mereka juga mendapat seperdua (1/2)
- Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan, kedudukannya sama dengan cucu perempuan
- Kakek (bapak dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu
- Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak menjadi ahli waris, umpamanya nenek dari ibu), kedudukannya sama dengan ibu
- Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki seibu
- Anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara perempuan
- Bibi (saudara perempuan bapak) dan saudara perempuan kakek kedudukannya sama dengan bapak
- Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek kedudukannya sama dengan bapak
- Saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu, kedudukannya sama dengan ibu
- Anak perempuan paman, kedudukannya sama dengan paman
- Bibi pihak ibu (saudara perempuan ibu), kedudukannya sama dengan ibu
- Turunan dari rahim-rahim yang tersebut di atas
Contoh perhitungan pembagian warisan :
1) Seorang meninggal dunia ahli warisnya 2 orang anak laki-laki, harta warisan Rp 50.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Dua orang anak laki-laki tersebut mewarisi semua harta warisan karena keduanya sebagaa ashabah, masing-masing memperoleh setengahnya, yaitu ½ x Rp 50.000.000,- = Rp 25.000.000,-
2) Seseorang meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Harta warisan Rp 20.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak laki-laki = 2 x bagian anak prempuan = 2 bagian
Dua anak perempuan = 2 bagian
Jumlah = 4 bagian
Bagian anak laki-laki = 2/4 x Rp 20.000.000,-
= Rp 10.000.000,-
Bagian dua anak perempuan = 2/4 x Rp 20.000.000,-
= Rp 10.000.000,-
Bagian satu anak perempuan = Rp 5.000.000,-
3) Seseorang meninggal dunia. Ahli warisnya seorang anak perempuan, suami dan bapak, ia meninggalkan harta warisan Rp 120.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan = ½ (karena tunggal)
Suami = ¼ (karena ada anak)
Bapak = Ashabah (karena tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki)
Asal masalah (KPK) = 4
Anak perempuan = ½ x 4 = 2
Suami = ¼ x 4 = 1
Jumlah = 3
Sisa 4 – 3 = 1 (untuk bapak selaku ashabah)
Jumlah = 4 (KPK)
Bagian anak perempuan :
2/4 x Rp 120.000.000,- = Rp 60.000.000,-
Bagian suami :
¼ x Rp 120.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Bagian bapak :
¼ x Rp 120.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Jumlah = Rp 120.000.000,-
4) Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, suami dan kakek. Harta peninggalan sebanyak Rp 2.400.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan = 1/2 (karena tunggal)
Cucu perempuan = 1/6 (karena ada seorang anak perempuan)
Suami = ¼ (karena ada anak)
Kakek = Ashabah (karena tidaka da anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak)
Asal masalah (K.P.K) = 12
Anak perempuan = 1/2 x 12 = 6
Cucu perempuan = 1/6 x 12 = 12
Suami = 1/4 x 12 = 13
Jumlah = 11
Sisa 12 – 11 = 1 (untuk kakek selaku ashabah)
Jumlah = 12
Anak perempuan = x Rp 2.400.000
= Rp 1.200.000,-
Cucu perempuan = x Rp 2.400.000
= Rp 400.000,-
Suami = x Rp 2.400.000
= Rp 600.000,-
Kakek = x Rp 2.400.000
= Rp 200.000,-
Jumlah = Rp 2.400.000,-
5) Seseorang telah meninggal dunia, meninggalkan harta warisan Rp 7.200.000,- ahli warisnya seorang istri, seorang anak laki-laki dan bapak. Berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Istri = 1/8 (karena ada anak)
Bapak = 1/6 (karena ada anak laki-laki)
Anak laki-laki = Ashabah
KPK = 24
Istri = 1/8 x 24 = 3
Bapak = 1/6 x 24 = 4
Jumlah = 7
Sisa = 24 – 7 = 17 (untuk anak laki-laki sebagai ashabah)
Jumlah = 24
Istri = x Rp 7.200.000 = Rp 900.000,-
Bapak = x Rp 7.200.000 = Rp 1.200.000,-
Anak laki-laki = x Rp 7.200.000 = Rp 5.100.000,-
Jumlah = Rp 7.200.000,-
Contoh-contoh perhitungan harta waris yang penulis cantumkan bermaksud untuk menerangkan bahwa apabila penyebut-penyebut dari beberapa ketentuan itu berlainan, hendaklah disamakan. Berarti perlu dicari kelipatan persekutuan terkecil dari beberapa penyebut ketentutan-ketentuan yang ada pada ahli waris. Hal yang demikian berlaku pula pada operasi hitung pecahan, sebagai contoh pada operasi penjumlahan, apabila hendak dicari jumlah dari kedua bilangan pecahan yang penyebutnya berbeda maka untuk menyelesaikannya terlebih dahulu perlu disamakan penyebutnya.
Contoh-contoh perhitungan harta waris yang penulis cantumkan di atas belm mewakilkan secara keseluruhan mengenai cara penyelesaian perhitungan harta waris. Cara penyelesaian perhitungan yang dimaksud adalah ‘Aul dan Radd. ‘Aul dilakukan jika jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak daripada kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya dan radd dilakukan bila ada sisa dari pembagian harta waris, sedangkan ahli waris yang ada hanya yang mendapat ketentuannya saja (dzawil furudh). Untuk lebih jelas mengenai ‘aul dan radd berikut penulis uraikan.
Ashabah bin Nafsi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena dirinya sendiri, mereka itu adalah :
(1) Anak laki-laki
(2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah
(3) Ayah
(4) Kakek (dari pihak bapak) keatas
(5) Saudara laki-laki sekandung
(6) Saudara laki-laki seayah
(7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
(8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
(9) Saudara laki-laki ayah kandung
(10) Saudara laki-laki ayah seayah
(11) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman/uak) kandung
(12) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman/uak) seayah
(13) Orang laki-laki yang memerdekakan budak
- Ashabah bil Ghairi
Ashabah bil Ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena ditarik oleh ahli waris yang telah menjadi ashabah. Apabila tidak ada ashabah, maka ia tetap mendapat bagian sebagai ashabul furudh. Mereka itu adalah :
(1) Anak perempuan yang ditarik anak laki-laki
(2) Cucu perempuan yang ditarik cucu laki-laki
(3) Saudara perempuan kandung yang ditarik saudara laki-laki kandung
(4) Saudara perempuan seayah dengan ditarik saudara laki-laki seayah
- Ashabah ma’al Ghairi
Ashabah ma’al ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang bukan ashabah. Apabila ahli waris lain itu tidak ada, maka ia tetap mendapatkan bagian ashabah furudh mereka itu adalah :
(1) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan atau lebih, maka bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
(2) Seorang saudara perempuan seayah atau lebih yang bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
(3) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan dan seorang cucu perempuan
3) Dzawil arham
Dzawil arham adalah keluarga yang mendapat warisan atas nama rahim (keluarga), mereka itu mempunyai hubungan famili dari pihak perempuan. Mereka itu tidak mendpat bagian warisan jika ahli waris dzawil furudh atau ashabah masih ada, mereka adalah keluarga orang yang meninggal, tetapi tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits, yang termasuk dzawil arham adalah :
- Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
Kedudukannya dalam masalah warisan sama dengan anak perempuan. Artinya jika anak perempuan mendapat seperdua (1/2), maka mereka juga mendapat seperdua (1/2)
- Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan, kedudukannya sama dengan cucu perempuan
- Kakek (bapak dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu
- Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak menjadi ahli waris, umpamanya nenek dari ibu), kedudukannya sama dengan ibu
- Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki seibu
- Anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara perempuan
- Bibi (saudara perempuan bapak) dan saudara perempuan kakek kedudukannya sama dengan bapak
- Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek kedudukannya sama dengan bapak
- Saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu, kedudukannya sama dengan ibu
- Anak perempuan paman, kedudukannya sama dengan paman
- Bibi pihak ibu (saudara perempuan ibu), kedudukannya sama dengan ibu
- Turunan dari rahim-rahim yang tersebut di atas
Contoh perhitungan pembagian warisan :
1) Seorang meninggal dunia ahli warisnya 2 orang anak laki-laki, harta warisan Rp 50.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Dua orang anak laki-laki tersebut mewarisi semua harta warisan karena keduanya sebagaa ashabah, masing-masing memperoleh setengahnya, yaitu ½ x Rp 50.000.000,- = Rp 25.000.000,-
2) Seseorang meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Harta warisan Rp 20.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak laki-laki = 2 x bagian anak prempuan = 2 bagian
Dua anak perempuan = 2 bagian
Jumlah = 4 bagian
Bagian anak laki-laki = 2/4 x Rp 20.000.000,-
= Rp 10.000.000,-
Bagian dua anak perempuan = 2/4 x Rp 20.000.000,-
= Rp 10.000.000,-
Bagian satu anak perempuan = Rp 5.000.000,-
3) Seseorang meninggal dunia. Ahli warisnya seorang anak perempuan, suami dan bapak, ia meninggalkan harta warisan Rp 120.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan = ½ (karena tunggal)
Suami = ¼ (karena ada anak)
Bapak = Ashabah (karena tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki)
Asal masalah (KPK) = 4
Anak perempuan = ½ x 4 = 2
Suami = ¼ x 4 = 1
Jumlah = 3
Sisa 4 – 3 = 1 (untuk bapak selaku ashabah)
Jumlah = 4 (KPK)
Bagian anak perempuan :
2/4 x Rp 120.000.000,- = Rp 60.000.000,-
Bagian suami :
¼ x Rp 120.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Bagian bapak :
¼ x Rp 120.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Jumlah = Rp 120.000.000,-
4) Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, suami dan kakek. Harta peninggalan sebanyak Rp 2.400.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan = 1/2 (karena tunggal)
Cucu perempuan = 1/6 (karena ada seorang anak perempuan)
Suami = ¼ (karena ada anak)
Kakek = Ashabah (karena tidaka da anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak)
Asal masalah (K.P.K) = 12
Anak perempuan = 1/2 x 12 = 6
Cucu perempuan = 1/6 x 12 = 12
Suami = 1/4 x 12 = 13
Jumlah = 11
Sisa 12 – 11 = 1 (untuk kakek selaku ashabah)
Jumlah = 12
Anak perempuan = x Rp 2.400.000
= Rp 1.200.000,-
Cucu perempuan = x Rp 2.400.000
= Rp 400.000,-
Suami = x Rp 2.400.000
= Rp 600.000,-
Kakek = x Rp 2.400.000
= Rp 200.000,-
Jumlah = Rp 2.400.000,-
5) Seseorang telah meninggal dunia, meninggalkan harta warisan Rp 7.200.000,- ahli warisnya seorang istri, seorang anak laki-laki dan bapak. Berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Istri = 1/8 (karena ada anak)
Bapak = 1/6 (karena ada anak laki-laki)
Anak laki-laki = Ashabah
KPK = 24
Istri = 1/8 x 24 = 3
Bapak = 1/6 x 24 = 4
Jumlah = 7
Sisa = 24 – 7 = 17 (untuk anak laki-laki sebagai ashabah)
Jumlah = 24
Istri = x Rp 7.200.000 = Rp 900.000,-
Bapak = x Rp 7.200.000 = Rp 1.200.000,-
Anak laki-laki = x Rp 7.200.000 = Rp 5.100.000,-
Jumlah = Rp 7.200.000,-
Contoh-contoh perhitungan harta waris yang penulis cantumkan bermaksud untuk menerangkan bahwa apabila penyebut-penyebut dari beberapa ketentuan itu berlainan, hendaklah disamakan. Berarti perlu dicari kelipatan persekutuan terkecil dari beberapa penyebut ketentutan-ketentuan yang ada pada ahli waris. Hal yang demikian berlaku pula pada operasi hitung pecahan, sebagai contoh pada operasi penjumlahan, apabila hendak dicari jumlah dari kedua bilangan pecahan yang penyebutnya berbeda maka untuk menyelesaikannya terlebih dahulu perlu disamakan penyebutnya.
Contoh-contoh perhitungan harta waris yang penulis cantumkan di atas belm mewakilkan secara keseluruhan mengenai cara penyelesaian perhitungan harta waris. Cara penyelesaian perhitungan yang dimaksud adalah ‘Aul dan Radd. ‘Aul dilakukan jika jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak daripada kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya dan radd dilakukan bila ada sisa dari pembagian harta waris, sedangkan ahli waris yang ada hanya yang mendapat ketentuannya saja (dzawil furudh). Untuk lebih jelas mengenai ‘aul dan radd berikut penulis uraikan.
a. ’Aul
Dalam kitab Al-Mawarits di Syari’ail Islamiyah, Hasanain Muhammad Makhluf mendefinisikan bhawa ’aul dalam pembagian pusaka adalah adanya kelbihan dalam saham ahli waris dari besarnya asal masalah dan adanya penyusutan dalam kadar penerimaan mereka, dikarenakan asal muasalnya tidak cukup untuk memenuhi fard-fard dari dzawil furudh (Hasanain dalam Dian Khairul Umam, 1999: 134).
Dari pendapat Hasanain Muhammad Makhluf dapat penulis definisikan bahwa ’aul yaitu memperbesar angka asal masalah, sehingga menjadi sama dengan jumlah pembilang dari bagian ahli aris yang ada, karena perhitungannya lebih besar daripada harta yang mudah dibagi. Kegunaan ’aul ini untukmengatasi kesulitan pembagian harta waris, bila terjadi antara asal masalah yang dilambangkan dengan angka lebih kecil daripada jumlah pembilangnya.
Contoh, bila seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan dua saudara perempuan kandung, maka bagian masing-masing menurut ketentuan adalah 1/2 dan 2/3. Sedangkan faktor persekutuan yang terkecil dari 2 dan 3 adalah 6, maka kita jadikan bagian suami 3/6 dan dua saudara perempaun 4/6. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah ”7”, sedangkan penyebut keduanya adalah ”6” (3/6 dan 4/6 = 7/6). Dengan demikian angka pembilang lebih besar daripada angka penyebut. Untuk mengatasi masalah ini ditempuh dengan cara membulatkan (menambahkan) angka penyebut tersebut menjadi 7, dengan kata lain harta warisan itu dibagi menjadi 7 bagian, 3 bagian untuk suami, 4 bagian untuk dua saudara perempuan. Meningkatnya atau bertambahnya angka ”6” menjadi ”7” inilah yang disebut ’aul.
b. Radd
Radd menurut bahasa dalah mengembalikan, sedangkan menurut istilah adalah mengembalikan sisa harta pusaka kepada ahli waris, karena ahli waris yang ada hanya yang mendapat ketentuan saja, berarti tidak ada yang dapat menghabisi semua harta dan semua siswa (ashabah). Contoh: seorang meninggal dunia, meninggalkan seorang ibu dan seorang anak perempuan, ibu mendapat 1/6, karena ada anak. Seorang anak perempuan mendapat 1/2. Setelah harta warisan itu dibagi maka akan terasa = 6/6 – (1/6 + 3/6). Sisa ini boleh dibagi lagi baik dengan perbandingan 1 : 3, atau dengan cara lain atau diwakafkan menurut persetujuan keduanya.
Dari uraian mengenai pecahan dan ilmu faraidh di atas, terlihat bahwa operasi-operasi hitung pecahan banyak diterapkan dalam konsep hitung ilmu faraidh, oleh karena itu penulis berasumsi bahwa ”ada pengaruh penguasaan materi pecahan terhadap kemampuan menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faridh”. Namun terlepas dari hal di atas penguasaan materi pecahan tidak sepenuhnya berpengaruh pada kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faridh. Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan perhitungan harta waris kemungkinan lebih dikarenakan siswa tidak mengetahui berapa bagian masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan oleh aturan syara’. Terlepas dari kemungkinan tersebut, peneliti membuat tes sedemikian rupa sehingga siswa dapat mengetahui berapa baigan masing-masing ahli waris dan berfokus pada perhitungan yang berkaitan dengan operasi-operasi hitung pecahan sehingga siswa bisa terhindar dari kemungkinan tersebut serta dapat memberikan jawaban terhadap rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti dalam skripsi ini.
Dalam kitab Al-Mawarits di Syari’ail Islamiyah, Hasanain Muhammad Makhluf mendefinisikan bhawa ’aul dalam pembagian pusaka adalah adanya kelbihan dalam saham ahli waris dari besarnya asal masalah dan adanya penyusutan dalam kadar penerimaan mereka, dikarenakan asal muasalnya tidak cukup untuk memenuhi fard-fard dari dzawil furudh (Hasanain dalam Dian Khairul Umam, 1999: 134).
Dari pendapat Hasanain Muhammad Makhluf dapat penulis definisikan bahwa ’aul yaitu memperbesar angka asal masalah, sehingga menjadi sama dengan jumlah pembilang dari bagian ahli aris yang ada, karena perhitungannya lebih besar daripada harta yang mudah dibagi. Kegunaan ’aul ini untukmengatasi kesulitan pembagian harta waris, bila terjadi antara asal masalah yang dilambangkan dengan angka lebih kecil daripada jumlah pembilangnya.
Contoh, bila seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan dua saudara perempuan kandung, maka bagian masing-masing menurut ketentuan adalah 1/2 dan 2/3. Sedangkan faktor persekutuan yang terkecil dari 2 dan 3 adalah 6, maka kita jadikan bagian suami 3/6 dan dua saudara perempaun 4/6. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah ”7”, sedangkan penyebut keduanya adalah ”6” (3/6 dan 4/6 = 7/6). Dengan demikian angka pembilang lebih besar daripada angka penyebut. Untuk mengatasi masalah ini ditempuh dengan cara membulatkan (menambahkan) angka penyebut tersebut menjadi 7, dengan kata lain harta warisan itu dibagi menjadi 7 bagian, 3 bagian untuk suami, 4 bagian untuk dua saudara perempuan. Meningkatnya atau bertambahnya angka ”6” menjadi ”7” inilah yang disebut ’aul.
b. Radd
Radd menurut bahasa dalah mengembalikan, sedangkan menurut istilah adalah mengembalikan sisa harta pusaka kepada ahli waris, karena ahli waris yang ada hanya yang mendapat ketentuan saja, berarti tidak ada yang dapat menghabisi semua harta dan semua siswa (ashabah). Contoh: seorang meninggal dunia, meninggalkan seorang ibu dan seorang anak perempuan, ibu mendapat 1/6, karena ada anak. Seorang anak perempuan mendapat 1/2. Setelah harta warisan itu dibagi maka akan terasa = 6/6 – (1/6 + 3/6). Sisa ini boleh dibagi lagi baik dengan perbandingan 1 : 3, atau dengan cara lain atau diwakafkan menurut persetujuan keduanya.
Dari uraian mengenai pecahan dan ilmu faraidh di atas, terlihat bahwa operasi-operasi hitung pecahan banyak diterapkan dalam konsep hitung ilmu faraidh, oleh karena itu penulis berasumsi bahwa ”ada pengaruh penguasaan materi pecahan terhadap kemampuan menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faridh”. Namun terlepas dari hal di atas penguasaan materi pecahan tidak sepenuhnya berpengaruh pada kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faridh. Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan perhitungan harta waris kemungkinan lebih dikarenakan siswa tidak mengetahui berapa bagian masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan oleh aturan syara’. Terlepas dari kemungkinan tersebut, peneliti membuat tes sedemikian rupa sehingga siswa dapat mengetahui berapa baigan masing-masing ahli waris dan berfokus pada perhitungan yang berkaitan dengan operasi-operasi hitung pecahan sehingga siswa bisa terhindar dari kemungkinan tersebut serta dapat memberikan jawaban terhadap rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti dalam skripsi ini.
C. Kerangka Berpikir
Pecahan adalah “bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005:44). Materi pecahan sudah diajarkan pada peserta didik sejak sekolah dasar dan berlanjut pada jenjang Sekolah Menengah Pertama. Tujuan diberikan materi pecahan adalah “untuk memahami konsep bilangan pecahan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari” (Yatim, 2006: 174). Sesuai dengan tujuan diberikannya materi pecahan maka penulis dapat mengemukakan bahwa materi pecahan juga dapat digunakan dalam penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Ilmu faraidh adalah “ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris menurut bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an” (Amir, 1996 :8). Perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh banyak menggunakan operasi-operasi hitung pecahan artinya materi pecahan banyak diterapkan dalam konsep perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Dari uraian-uraian di atas penulis dapat mengemukakan bahwa penguasaan materi pecahan sangat berpengaruh terhadap kemampuan penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Berdasarkan kenyataan yang telah diuraikan tersebut, penulis simpulkan bahwa ada pengaruh penguasaan materi pecahan terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008.
Pecahan adalah “bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005:44). Materi pecahan sudah diajarkan pada peserta didik sejak sekolah dasar dan berlanjut pada jenjang Sekolah Menengah Pertama. Tujuan diberikan materi pecahan adalah “untuk memahami konsep bilangan pecahan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari” (Yatim, 2006: 174). Sesuai dengan tujuan diberikannya materi pecahan maka penulis dapat mengemukakan bahwa materi pecahan juga dapat digunakan dalam penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Ilmu faraidh adalah “ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris menurut bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an” (Amir, 1996 :8). Perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh banyak menggunakan operasi-operasi hitung pecahan artinya materi pecahan banyak diterapkan dalam konsep perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Dari uraian-uraian di atas penulis dapat mengemukakan bahwa penguasaan materi pecahan sangat berpengaruh terhadap kemampuan penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Berdasarkan kenyataan yang telah diuraikan tersebut, penulis simpulkan bahwa ada pengaruh penguasaan materi pecahan terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008.
D. Hipotesis Penelitian
Dalam statistik : hipotesis dapat diartikan “sebagai pernyataan tentang parameter populasi, sedangkan dalam penelitian, hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian” (Sugiono, 2006: 81).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan hipotesis hubungan (asosiatif). Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah Ha “Ada pengaruh yang signifikan antara penguasaan materi ’pecahan’ terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008”.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam statistik : hipotesis dapat diartikan “sebagai pernyataan tentang parameter populasi, sedangkan dalam penelitian, hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian” (Sugiono, 2006: 81).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan hipotesis hubungan (asosiatif). Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah Ha “Ada pengaruh yang signifikan antara penguasaan materi ’pecahan’ terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008”.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pecahan
1. Definisi pecahan dan fungsinya
Bilangan pecahan adalah “bilangan yang disajikan dalam bentuk a/b dengan a, b anggota bilangan bulat dan b ≠ 0, pada bentuk tersebut a disebut pembilang dan b disebut penyebut. Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005: 44).
Dari definisi di atas dapat penulis kemukakan bahwa setiap bentuk pembagian a dengan b (a dan b adalah bilangan bulat) yang dinyatakan sebagai a/b dengan b ≠ 0 dinamakan pecahan. Bentuk umum a/b dibaca “a per b”, a sebagai pembilang dan b sebagai penyebut.
Bilangan pecahan juga dinamakan bilangan rasional. Bilangan ini menyatakan bagian suatu keseluruhan yang dipersoalkan, bagian dari suatu daerah, bagian dari suatu benda, dan bagian dari suatu himpunan. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari pecahana dalah “menggambarkan bagian dari keseluruhan bilangan”.
2. Bentuk-bentuk Pecahan
Untuk mempermudah dalam menggambarkan pecahan maka penulis cantumkan bentuk-bentuk dari pecahan.
1. Definisi pecahan dan fungsinya
Bilangan pecahan adalah “bilangan yang disajikan dalam bentuk a/b dengan a, b anggota bilangan bulat dan b ≠ 0, pada bentuk tersebut a disebut pembilang dan b disebut penyebut. Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005: 44).
Dari definisi di atas dapat penulis kemukakan bahwa setiap bentuk pembagian a dengan b (a dan b adalah bilangan bulat) yang dinyatakan sebagai a/b dengan b ≠ 0 dinamakan pecahan. Bentuk umum a/b dibaca “a per b”, a sebagai pembilang dan b sebagai penyebut.
Bilangan pecahan juga dinamakan bilangan rasional. Bilangan ini menyatakan bagian suatu keseluruhan yang dipersoalkan, bagian dari suatu daerah, bagian dari suatu benda, dan bagian dari suatu himpunan. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari pecahana dalah “menggambarkan bagian dari keseluruhan bilangan”.
2. Bentuk-bentuk Pecahan
Untuk mempermudah dalam menggambarkan pecahan maka penulis cantumkan bentuk-bentuk dari pecahan.
Adapun bentuk-bentuk dari pecahan adalah sebagai berikut :
a. Pecahan biasa
Bentuk-bentuk seperti ½, ¼ dan ¾ disebut pecahan biasa, suatu pecahan dapat memiliki beberapa nama pecahan yang nilainya sama, contohnya ½ juga dapat dinamakan 2/4, 3/6, 4/8 dan 5/10. Nama-nama lain tersebut bisa diperoleh dengan cara mengalikan pembilang dan penyebutnya dengan bilangan yang sama.
Bentuk-bentuk seperti 1/2, 1/4, dan ¾ disbut pecahan biasa. Suatu pecahan dapat memiliki beberapa nama pecahan yang nilainya sama atau yang biasa disebut dengan pecahan senilai. Contohnya 1/2 juga dapat dinamakan dengan 2/4, 3/6, 4/8 dan 5/10. Nama-nama lain tersebut biasa diperoleh dengan cara mengalikan pembilang dan penyebutnya dengan bilangan yang sama. Berikut penulis sajikan intersepsi dari uraian tersebut.
1/2 =
1/2 =
1/2 =
1/2 =
b. Pecahan campuran
Pecahan campuran yaitu campuran suatu bilangan cacah dengan pecahan biasa. Contoh : 3 ½, 1 2/3, 5 4/9.
Pecahan campuran yaitu campuran suatu bilangan cacah dengan pecahan biasa. Bilangan cacah yaitu bilangan yang dimulai dari 0, 1, 2, 3, …….dan seterusnya. Sesuai dengan definisi bilangan cacah {0, 1, 2, 3,…..} dicampurkan dengan pecahan biasa misalnya : 1/2, 2/3, 4/9 maka akan menjadi pecahan campuran.
Contoh : 3 adalah bilangan cacah
1/2 adalah pecahan biasa
Bila dicampurkan menjadi 3½
c. Pecahan desimal
Pecahan desimal yaitu pecahan yang ditulis dalam bentuk desimal, contohnya 3/10 dapat dinyatakan dalam pecahan desimal sebagai 0,3 (Firmanawaty, 2003: 38).
Pecahan desimal yaitu pecahan yang ditulis dalam bentuk desimal. Contoh :
1) 3/10 dapat dinyatakan dalam pecahan desimal sebagai 0,3 karena :
2) dapat dinyatakan dalam pecahan desimal sebagai 1,66 karena :
Jadi, 5/3 = 1,666…..
Bentuk desimal sepertu 1,666…..disebut desimal berulang (Firmanawaty, 2003: 38)
d. Pecahan dalam bentuk persen dan permil
Suatu pecahan berbentuk persen jika penyebutnya dinyatakan seratus dan disimbolkan “o/o” (Firmanawaty).
Jika pecahan-pecahan tersebut diubah ke bentuk perseratus maka dengan cepat dapat membandingkan pecahan-pecahan tersebut.
Untuk mengubah bentuk pecahan kebentuk persen maka dapat digunakan salah satu cara berikut :
1) Mengubah pecahan semula menjadi pecahan senilai dengan penyebut 100
2) Pecahan semula dikalikan dengan 100 o/o (Panco, 2005: 64)
Untuk lebih jelasnya berikut contoh dalam bentuk persen :
1) 0,5 =
2) 0,45 =
3) 75% =
4) 100% =
5) 0,261 =
Pecahan dalam bentuk perseribu disebut permil dan disimbolkan dengan ”o/oo” (panco, 2005: 65).
Contoh :
1) 325 o/oo =
2) 1000 o/oo =
3) 10000 o/oo =
4) 0,999 =
5) 0,11 = o/oo
Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa untuk mengubah bentuk permil dapat digunakan salah satu cara berikut :
1) Mengubah pecahan semula menjadi pecahan senilai dengan penyebut 1000
2) Pecahan semula dikalikan dengan 1000 o/oo (Panco, 2005: 65)
3. Operasi Hitung Pada Pecahan
a. Operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan
Sebelum membahas operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan penulis mengingatkan kembali sifat-sifat operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.
Sifat-sifat operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat untuk a, b, dan c anggota himpunan bilangan bulat berlaku :
1) a + b = b + a (sifat komutatif)
2) (a + b) + c = (a + (b + c) (sifat asosiatif)
3) a + 0 = 0 + a = a (0 adalah usur identitas pada penjumlahan)
4) a + (a) = (-a) + a = 0 (-a adalah invers atau lawan dari a terhadap operasi penjumlahan dan sebaliknya)
5) a – b = a + (-b) (Panco, 2005: 68)
Sifat-sifat pada operasi penjumlahan dan pengurangan pada biilangan bulat ini juga berlaku pada operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan.
Contoh :
1) =
=
=
=
Jadi sifat komutatif berlaku pada pecahan
2) =
=
=
=
Jadi sifat asonatif berlaku pada pecahan
3)
Jadi 0 adalah unsur identitas pada penjumlahan bilangan cacah
4)
Setiap pecahan memiliki invers
b. Perkalian dan pembagian pecahan
Sifat-sifat operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat juga berlaku pada operasi perkalian dan pembagian pecahan.
Sifat-sifat operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat :
1) a x b = b x a (sifat kumutatif)
2) (a x b) x c = a x (b x c) (sifat asosiatif)
3) a x 1 = 1 x a (1 adalah unsur identitas pada perkalian)
4) a x (-b) = - (a x b); -a x b = - (a x b; -a x (-b) = a x b
5) a : b = c artinya sama dengan a = b x c
(Panco, 2005: 72).
Contoh :
a) =
=
b) =
=
=
c) =
=
1 unsur identitas perkalian bilangan cacah
d)
Dari bentuk dan operasi-operasi pecahan yang diuraikan di atas dapat penulis asumsikan bahwa :
a. Pecahan dapat disederhanakan
Pecahan paling sederhana dapat diperoleh jika pembilang dan penyebut pecahan semula dibagi dengan faktor persekutuan terbesar (FPB-nya) (Panco, 2005: 47). Dari pendapat Panco tersebut suatu pecahan dikatakan sederhana jika pembilang dan penyebutnya tidak mempunyai faktor persekutuan lagi, kecuali 1 (satu). Nilai suatu pecahan tidak akan berubah jika pembilang dan penyebutnya dikalikan atau dibagi dengan bilangan yang sama.
Contoh :
1) Nyatakan pecahan dalam bentuk pecahan paling sederhana
Jawab :
FPB dari 36 dan 48 adalah 12
2) Nyatakan pecahan dalam bentuk pecahan paling sederhana
Jawab :
FPB dari 12 dan 18 adalah 6
b. Pecahan biasa dapat diubah menjadi pecahan campuran, pecahan desimal, persen dan permil begitu pula sebaliknya
1) Mengubah pecahan biasa ke pecahan campuran atau sebaliknya
Mengubah pecahan campuran menjadi pecahan biasa dapat dilakukan dengan mengalikan bilangan bulatnya dengan penyebutnya, kemudian tambahkan dengan pembilangnya. Hasil operasi tersebut dijadikan pembilang, sedangkan penyebutnya sama dengan penyebut pecahan campuran.
Contoh :
a) b)
Jadi, Jadi,
Bilangan biasa dapat diubah menjadi bilangan campuran dengan syarat pembilangnya lebih besar dari penyebutnya. Caranya membagi pembilang dengan penyebutnya, kemudian jadikan sisa pembagiannya sebagia pembagian baru.
Contoh :
a) 7 bersisa 2
Jadi
b) bersisa 3
Jadi
2) Mengubah pecahan biasa ke pecahan desimal atau sebaliknya
Mengubah suatu pecahan biasa menajdi pecahan desimal berarti membagi pembilang terhadap penyebutnya. Jika pembilang lebih kecil daripada penyebut maka cara pembagiannya adalah kalikan penyebut dengan 10, 100, 1000 dan seterusnya dan bagi hasilnya dengan 10, 100, 1000 dan seterusnya.
Contoh :
a) b)
2) Mengubah pecahan desimal menjadi pecahan biasa
a) 0,4 =
b) 0,125 =
3) Mengubah pecahan biasa ke persen atau sebaliknya
Mengubah sautu pecahan bisa menjadi persen berarti mengubah pecahan biasa terebut menajdi bentuk perseratus. Pecahan biasa 1/4 dapat diubah menjadi pecahan desimal dengan cara menjadikan penyebutnya 100. Yang perlu diingat bahwa perubahan terebut tidak mengubah nilai pecahan semula.
Contoh :
a) =
b) =
4) Mengubah pecahan biasa ke permil atau sebaliknya
Mengubah pecahan biasa menjadi permil berarti mengubah pecahan biasa menjadi bentuk per seribut. Cara mengubahnya yaitu dengan menjadikan penyebutnya 1000. Yang perlu diingat bahwa perubahan tersebut tidak mengubah nilai pechaan semula.
Contoh :
a) =
b) =
B. Ilmu Faraidh
1. Definisi ilmu faraidh dan kegunaannya dalam masyarakat
a. Definisi ilmu faraidh
Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan jenis harta yang dilarang mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik, diantara harta yang halal (boleh) diambiil adalah harta pusaka. Pembagian harta pusaka dibahas dalam ilmu faraidh.
Ilmu faraidh atau yang disebut juga ilmu waris adalah ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris menurut bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an (Amir, 1996: 8). Menurut pendapat lain ilmu faraidh adalah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagainnya (Hasbi Ash-shiddiq dalam Dian Khairul Amam, 1999: 14).
Dari kedua pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa ilmu mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar-kecilnya oleh syara’.
Pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris dicantumkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176.
1) Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 7
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (Depag, 1989: 116).
2) Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12
2) Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semunya perempuan lebh dari dua, maka baigan mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat dan sudah dibayar hutangnya (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui saia diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi bijaksana” (11) (Depag RI, 1989: 116).
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”(12) (Depag, 1989: 117).
3) Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 176
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Depag, 1989: 153).
b. Kegunaan ilmu faraidh dalam masyarakat
Dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syari’at Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula belajar dan mengajarkannya. Ada beberapa manfaat ilmu faraidh di dalam masyarakat yang dapat penulis kemukakan diantaranya :
1) Memelihara hubungan keluarga muslim
Dalam Al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa anak adalah ahli waris pertama dan utama, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dengan ini, maka kehidupan si anak tidak terlantar, karena minimal ia telah punya modal untuk hidup dari harta yang ditinggalkan orang tuanya.
Disamping itu harta waris juga dibagikan kepada ahli waris yang ada hubungan darah atau karena pernikahan atau perkawinan. Dengan pembagian harta warisan itu, maka terpeliharalah hubungan keluarga muslim, baik antara orang yang meninggal dengan ahli waris maupun sesama ahli waris.
2) Menjunjung tinggi perintah Allah dan sunnah rasul
Kaum muslimin bila telah melakukan pembagian warisan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an berarti telah meletakkan sebagian hukum Allah di atas hukum-hukum yang lain. Faraidh merupakan salah satu bagian yang penting dari ajaran Rasulullah SAW. Melaksanakan ajaran Nabi ini, sebenarnya menjadi bukti kecintaan dan kepatuhan kepadanya dan sekaligus menjunjung tinggi sunahnya.
3) Mewujudkan keadilan berdasarkan syari’at Islam
Keadilan dalam hal harta warisan adalah bagaimana membaginya menurut ketentuan-ketentuan hukum warisan berdasarkan syari’at Islam. Apabila umat Islam melaksanakan pembagian warisan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka keadilan akan terwujud dimuka bumi ini. Dengan terwujudnya keadilan akan sejahteralah keluarga dan seluruh umat.
c. Perhitungan di dalam ilmu faraidh
Ada beberapa bentuk pecahan diantaranya adalah “pecahan biasa, pecahan campuran dan pecahan desimal” (Firmanawaty, 2003 : 38). Bentuk-bentuk pecahan ini banyak ditemukan pada penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Selain itu, pada penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh banyak digunakan operasi hitungan pecahan seperti operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Dari sini penulis dapat mengatakan bahwa “perhitungan dalam ilmu faraidh sangat berkaitan dengan materi pecahan”. Untuk memudahkan penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh perlu diketahui ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris (farudhul muqaddarah) sebagaimana yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah :
Adapun yang termasuk furudhul muqaddarah ada 6 (enam) macam, yaitu :
1) Seperdua (1/2)
2) Dua pertiga (2/3)
3) Seperenam (1/6)
4) Sepertiga (1/3)
5) Seperempat (1/4)
6) Seperdelapan (1/8)
Adapun rincian ahli waris yang mendapat warisan sesuai dengan furudhul muqaddarah adalah sebagai berikut :
1) Ahli waris yang mendapat bagian seperdua (1/2)
- Anak perempuan tunggal
- Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
- Saudara perempuan tunggal yang kandung
- Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara perempuan yang dikandung tidak ada
- Suami, apabila istri tidak mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki
2) Ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga (2/3)
- Dua anak perempuan atau lebih, mereka mendapat dua pertiga, apabila tidak ada anak laki-laki
- Dua orang cucu perempuan atau lebih dan anak laki-laki, apabila anak perempuan tidak ada
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang kandung
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
3) Ahli waris yang mendapat bagian seperenam (1/6)
- Ibu si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, atau saudara (laki-laki atau perempuan) yang kandung, sebapak atau seibu
- Bapak si mayat, apabila yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
- Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) si mayat, apabila yang meninggal tidak mempunyai ibu
- Cucu perempuan (seorang atau lebih) si mayat dari anak laki-laki apabila yang meninggal mempunyai anak perempuan tunggal. Akan tetapi apabila mempunyai anak perempuan lebih dari satu, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat warisan
- Kakek si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, sedang bapaknya tidak ada
- Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu)
- Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu
- Saudara perempuan si mayat yang sebapak (seorang atau lebih), apabila yang meninggal mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Apabila mempunyai saudara lebih dari satu, maka saudara perempuan sebapak tadi tidak mendapat warisan.
4) Ahli waris yang mendapat bagian seperti (1/3)
- Ibu si mayat, apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu, atau tidak mempunyai saudara kandung sebapak atau seibu
- Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu
5) Ahli waris yang mendapat bagian seperempat (1/4)
- Suami si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
- Istri si mayat (seorang atau lebih), apabila yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dan anak laki-laki
6) Ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan (1/8)
Istri si mayat (seorang atau lebih) mendapat 1/8 dari harta yang ditinggalkan suaminya apabila suaminya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (Amir, 1999: 25-26).
Dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syari’at Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula belajar dan mengajarkannya. Ada beberapa manfaat ilmu faraidh di dalam masyarakat yang dapat penulis kemukakan diantaranya :
1) Memelihara hubungan keluarga muslim
Dalam Al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa anak adalah ahli waris pertama dan utama, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dengan ini, maka kehidupan si anak tidak terlantar, karena minimal ia telah punya modal untuk hidup dari harta yang ditinggalkan orang tuanya.
Disamping itu harta waris juga dibagikan kepada ahli waris yang ada hubungan darah atau karena pernikahan atau perkawinan. Dengan pembagian harta warisan itu, maka terpeliharalah hubungan keluarga muslim, baik antara orang yang meninggal dengan ahli waris maupun sesama ahli waris.
2) Menjunjung tinggi perintah Allah dan sunnah rasul
Kaum muslimin bila telah melakukan pembagian warisan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an berarti telah meletakkan sebagian hukum Allah di atas hukum-hukum yang lain. Faraidh merupakan salah satu bagian yang penting dari ajaran Rasulullah SAW. Melaksanakan ajaran Nabi ini, sebenarnya menjadi bukti kecintaan dan kepatuhan kepadanya dan sekaligus menjunjung tinggi sunahnya.
3) Mewujudkan keadilan berdasarkan syari’at Islam
Keadilan dalam hal harta warisan adalah bagaimana membaginya menurut ketentuan-ketentuan hukum warisan berdasarkan syari’at Islam. Apabila umat Islam melaksanakan pembagian warisan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka keadilan akan terwujud dimuka bumi ini. Dengan terwujudnya keadilan akan sejahteralah keluarga dan seluruh umat.
c. Perhitungan di dalam ilmu faraidh
Ada beberapa bentuk pecahan diantaranya adalah “pecahan biasa, pecahan campuran dan pecahan desimal” (Firmanawaty, 2003 : 38). Bentuk-bentuk pecahan ini banyak ditemukan pada penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Selain itu, pada penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh banyak digunakan operasi hitungan pecahan seperti operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Dari sini penulis dapat mengatakan bahwa “perhitungan dalam ilmu faraidh sangat berkaitan dengan materi pecahan”. Untuk memudahkan penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh perlu diketahui ketentuan kadar bagian masing-masing ahli waris (farudhul muqaddarah) sebagaimana yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah :
Adapun yang termasuk furudhul muqaddarah ada 6 (enam) macam, yaitu :
1) Seperdua (1/2)
2) Dua pertiga (2/3)
3) Seperenam (1/6)
4) Sepertiga (1/3)
5) Seperempat (1/4)
6) Seperdelapan (1/8)
Adapun rincian ahli waris yang mendapat warisan sesuai dengan furudhul muqaddarah adalah sebagai berikut :
1) Ahli waris yang mendapat bagian seperdua (1/2)
- Anak perempuan tunggal
- Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
- Saudara perempuan tunggal yang kandung
- Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara perempuan yang dikandung tidak ada
- Suami, apabila istri tidak mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki
2) Ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga (2/3)
- Dua anak perempuan atau lebih, mereka mendapat dua pertiga, apabila tidak ada anak laki-laki
- Dua orang cucu perempuan atau lebih dan anak laki-laki, apabila anak perempuan tidak ada
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang kandung
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
3) Ahli waris yang mendapat bagian seperenam (1/6)
- Ibu si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, atau saudara (laki-laki atau perempuan) yang kandung, sebapak atau seibu
- Bapak si mayat, apabila yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
- Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) si mayat, apabila yang meninggal tidak mempunyai ibu
- Cucu perempuan (seorang atau lebih) si mayat dari anak laki-laki apabila yang meninggal mempunyai anak perempuan tunggal. Akan tetapi apabila mempunyai anak perempuan lebih dari satu, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat warisan
- Kakek si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, sedang bapaknya tidak ada
- Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu)
- Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu
- Saudara perempuan si mayat yang sebapak (seorang atau lebih), apabila yang meninggal mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Apabila mempunyai saudara lebih dari satu, maka saudara perempuan sebapak tadi tidak mendapat warisan.
4) Ahli waris yang mendapat bagian seperti (1/3)
- Ibu si mayat, apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu, atau tidak mempunyai saudara kandung sebapak atau seibu
- Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) si mayat yang seibu
5) Ahli waris yang mendapat bagian seperempat (1/4)
- Suami si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
- Istri si mayat (seorang atau lebih), apabila yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dan anak laki-laki
6) Ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan (1/8)
Istri si mayat (seorang atau lebih) mendapat 1/8 dari harta yang ditinggalkan suaminya apabila suaminya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (Amir, 1999: 25-26).
Dari uraian rincian ahli waris yang mendapat warisan sesuai dengan faradhul muqaddarah di atas dapat penulis mengemukakan bahwa ada golongan-golongan ahli waris dalam pembagian harta waris yang dimulai dari hubungan kekerabatan yang terdekat hingga yang terjauh.
Menurut Amir (1999) golongan ahli waris dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Dzawil furudh
Dzawil furudh adalah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dalam hukum Islam. Dalam membagi warisan, ahli waris dzawil furudh harus didahulukan daripada ahli waris ashabah dan dzawil arham. Adapun ahli waris yang termasuk dzawil furudh ada 12 orang, 4 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, mereka itu adalah :
- Dzawil furudh laki-laki mreka itu adalah :
(1) Suami
(2) Ayah
(3) Saudara laki-laki seibu
(4) Kakek dan seterusnya keatas
- Dzawil furudh yang perempuan, mereka itu adalah :
(1) Istri
(2) Anak perempuan
(3) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
(4) Saudara perempuan kandung
(5) Saudara perempuan seayah
(6) Saudara perempuan seibu
(7) Ibu
(8) Nenek
2) Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta warisan atau semua sisa setelah harta warisan dikeluarkan untuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu (dzawil furudh). Dengan demikian, ada kemungkinan dia akan menerima seluruh harta warisan, menerima sisanya atau tidak menerima sama sekali karena telah diambil abis oleh Dzawil furudh.
Menurut Amir (1999) golongan ahli waris dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Dzawil furudh
Dzawil furudh adalah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dalam hukum Islam. Dalam membagi warisan, ahli waris dzawil furudh harus didahulukan daripada ahli waris ashabah dan dzawil arham. Adapun ahli waris yang termasuk dzawil furudh ada 12 orang, 4 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, mereka itu adalah :
- Dzawil furudh laki-laki mreka itu adalah :
(1) Suami
(2) Ayah
(3) Saudara laki-laki seibu
(4) Kakek dan seterusnya keatas
- Dzawil furudh yang perempuan, mereka itu adalah :
(1) Istri
(2) Anak perempuan
(3) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
(4) Saudara perempuan kandung
(5) Saudara perempuan seayah
(6) Saudara perempuan seibu
(7) Ibu
(8) Nenek
2) Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta warisan atau semua sisa setelah harta warisan dikeluarkan untuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu (dzawil furudh). Dengan demikian, ada kemungkinan dia akan menerima seluruh harta warisan, menerima sisanya atau tidak menerima sama sekali karena telah diambil abis oleh Dzawil furudh.
- Ashabah bin Nafsi
Ashabah bin Nafsi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena dirinya sendiri, mereka itu adalah :
(1) Anak laki-laki
(2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah
(3) Ayah
(4) Kakek (dari pihak bapak) keatas
(5) Saudara laki-laki sekandung
(6) Saudara laki-laki seayah
(7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
(8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
(9) Saudara laki-laki ayah kandung
(10) Saudara laki-laki ayah seayah
(11) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman/uak) kandung
(12) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman/uak) seayah
(13) Orang laki-laki yang memerdekakan budak
- Ashabah bil Ghairi
Ashabah bil Ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena ditarik oleh ahli waris yang telah menjadi ashabah. Apabila tidak ada ashabah, maka ia tetap mendapat bagian sebagai ashabul furudh. Mereka itu adalah :
(1) Anak perempuan yang ditarik anak laki-laki
(2) Cucu perempuan yang ditarik cucu laki-laki
(3) Saudara perempuan kandung yang ditarik saudara laki-laki kandung
(4) Saudara perempuan seayah dengan ditarik saudara laki-laki seayah
- Ashabah ma’al Ghairi
Ashabah ma’al ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang bukan ashabah. Apabila ahli waris lain itu tidak ada, maka ia tetap mendapatkan bagian ashabah furudh mereka itu adalah :
(1) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan atau lebih, maka bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
(2) Seorang saudara perempuan seayah atau lebih yang bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
(3) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan dan seorang cucu perempuan
3) Dzawil arham
Dzawil arham adalah keluarga yang mendapat warisan atas nama rahim (keluarga), mereka itu mempunyai hubungan famili dari pihak perempuan. Mereka itu tidak mendpat bagian warisan jika ahli waris dzawil furudh atau ashabah masih ada, mereka adalah keluarga orang yang meninggal, tetapi tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits, yang termasuk dzawil arham adalah :
- Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
Kedudukannya dalam masalah warisan sama dengan anak perempuan. Artinya jika anak perempuan mendapat seperdua (1/2), maka mereka juga mendapat seperdua (1/2)
- Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan, kedudukannya sama dengan cucu perempuan
- Kakek (bapak dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu
- Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak menjadi ahli waris, umpamanya nenek dari ibu), kedudukannya sama dengan ibu
- Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki seibu
- Anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara perempuan
- Bibi (saudara perempuan bapak) dan saudara perempuan kakek kedudukannya sama dengan bapak
- Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek kedudukannya sama dengan bapak
- Saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu, kedudukannya sama dengan ibu
- Anak perempuan paman, kedudukannya sama dengan paman
- Bibi pihak ibu (saudara perempuan ibu), kedudukannya sama dengan ibu
- Turunan dari rahim-rahim yang tersebut di atas
Contoh perhitungan pembagian warisan :
1) Seorang meninggal dunia ahli warisnya 2 orang anak laki-laki, harta warisan Rp 50.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Dua orang anak laki-laki tersebut mewarisi semua harta warisan karena keduanya sebagaa ashabah, masing-masing memperoleh setengahnya, yaitu ½ x Rp 50.000.000,- = Rp 25.000.000,-
2) Seseorang meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Harta warisan Rp 20.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak laki-laki = 2 x bagian anak prempuan = 2 bagian
Dua anak perempuan = 2 bagian
Jumlah = 4 bagian
Bagian anak laki-laki = 2/4 x Rp 20.000.000,-
= Rp 10.000.000,-
Bagian dua anak perempuan = 2/4 x Rp 20.000.000,-
= Rp 10.000.000,-
Bagian satu anak perempuan = Rp 5.000.000,-
3) Seseorang meninggal dunia. Ahli warisnya seorang anak perempuan, suami dan bapak, ia meninggalkan harta warisan Rp 120.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan = ½ (karena tunggal)
Suami = ¼ (karena ada anak)
Bapak = Ashabah (karena tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki)
Asal masalah (KPK) = 4
Anak perempuan = ½ x 4 = 2
Suami = ¼ x 4 = 1
Jumlah = 3
Sisa 4 – 3 = 1 (untuk bapak selaku ashabah)
Jumlah = 4 (KPK)
Bagian anak perempuan :
2/4 x Rp 120.000.000,- = Rp 60.000.000,-
Bagian suami :
¼ x Rp 120.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Bagian bapak :
¼ x Rp 120.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Jumlah = Rp 120.000.000,-
4) Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, suami dan kakek. Harta peninggalan sebanyak Rp 2.400.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan = 1/2 (karena tunggal)
Cucu perempuan = 1/6 (karena ada seorang anak perempuan)
Suami = ¼ (karena ada anak)
Kakek = Ashabah (karena tidaka da anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak)
Asal masalah (K.P.K) = 12
Anak perempuan = 1/2 x 12 = 6
Cucu perempuan = 1/6 x 12 = 12
Suami = 1/4 x 12 = 13
Jumlah = 11
Sisa 12 – 11 = 1 (untuk kakek selaku ashabah)
Jumlah = 12
Anak perempuan = x Rp 2.400.000
= Rp 1.200.000,-
Cucu perempuan = x Rp 2.400.000
= Rp 400.000,-
Suami = x Rp 2.400.000
= Rp 600.000,-
Kakek = x Rp 2.400.000
= Rp 200.000,-
Jumlah = Rp 2.400.000,-
5) Seseorang telah meninggal dunia, meninggalkan harta warisan Rp 7.200.000,- ahli warisnya seorang istri, seorang anak laki-laki dan bapak. Berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Istri = 1/8 (karena ada anak)
Bapak = 1/6 (karena ada anak laki-laki)
Anak laki-laki = Ashabah
KPK = 24
Istri = 1/8 x 24 = 3
Bapak = 1/6 x 24 = 4
Jumlah = 7
Sisa = 24 – 7 = 17 (untuk anak laki-laki sebagai ashabah)
Jumlah = 24
Istri = x Rp 7.200.000 = Rp 900.000,-
Bapak = x Rp 7.200.000 = Rp 1.200.000,-
Anak laki-laki = x Rp 7.200.000 = Rp 5.100.000,-
Jumlah = Rp 7.200.000,-
Contoh-contoh perhitungan harta waris yang penulis cantumkan bermaksud untuk menerangkan bahwa apabila penyebut-penyebut dari beberapa ketentuan itu berlainan, hendaklah disamakan. Berarti perlu dicari kelipatan persekutuan terkecil dari beberapa penyebut ketentutan-ketentuan yang ada pada ahli waris. Hal yang demikian berlaku pula pada operasi hitung pecahan, sebagai contoh pada operasi penjumlahan, apabila hendak dicari jumlah dari kedua bilangan pecahan yang penyebutnya berbeda maka untuk menyelesaikannya terlebih dahulu perlu disamakan penyebutnya.
Contoh-contoh perhitungan harta waris yang penulis cantumkan di atas belm mewakilkan secara keseluruhan mengenai cara penyelesaian perhitungan harta waris. Cara penyelesaian perhitungan yang dimaksud adalah ‘Aul dan Radd. ‘Aul dilakukan jika jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak daripada kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya dan radd dilakukan bila ada sisa dari pembagian harta waris, sedangkan ahli waris yang ada hanya yang mendapat ketentuannya saja (dzawil furudh). Untuk lebih jelas mengenai ‘aul dan radd berikut penulis uraikan.
Ashabah bin Nafsi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena dirinya sendiri, mereka itu adalah :
(1) Anak laki-laki
(2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki kebawah
(3) Ayah
(4) Kakek (dari pihak bapak) keatas
(5) Saudara laki-laki sekandung
(6) Saudara laki-laki seayah
(7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
(8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
(9) Saudara laki-laki ayah kandung
(10) Saudara laki-laki ayah seayah
(11) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman/uak) kandung
(12) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman/uak) seayah
(13) Orang laki-laki yang memerdekakan budak
- Ashabah bil Ghairi
Ashabah bil Ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena ditarik oleh ahli waris yang telah menjadi ashabah. Apabila tidak ada ashabah, maka ia tetap mendapat bagian sebagai ashabul furudh. Mereka itu adalah :
(1) Anak perempuan yang ditarik anak laki-laki
(2) Cucu perempuan yang ditarik cucu laki-laki
(3) Saudara perempuan kandung yang ditarik saudara laki-laki kandung
(4) Saudara perempuan seayah dengan ditarik saudara laki-laki seayah
- Ashabah ma’al Ghairi
Ashabah ma’al ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang bukan ashabah. Apabila ahli waris lain itu tidak ada, maka ia tetap mendapatkan bagian ashabah furudh mereka itu adalah :
(1) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan atau lebih, maka bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
(2) Seorang saudara perempuan seayah atau lebih yang bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
(3) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan dan seorang cucu perempuan
3) Dzawil arham
Dzawil arham adalah keluarga yang mendapat warisan atas nama rahim (keluarga), mereka itu mempunyai hubungan famili dari pihak perempuan. Mereka itu tidak mendpat bagian warisan jika ahli waris dzawil furudh atau ashabah masih ada, mereka adalah keluarga orang yang meninggal, tetapi tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits, yang termasuk dzawil arham adalah :
- Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
Kedudukannya dalam masalah warisan sama dengan anak perempuan. Artinya jika anak perempuan mendapat seperdua (1/2), maka mereka juga mendapat seperdua (1/2)
- Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan, kedudukannya sama dengan cucu perempuan
- Kakek (bapak dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu
- Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak menjadi ahli waris, umpamanya nenek dari ibu), kedudukannya sama dengan ibu
- Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki seibu
- Anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara perempuan
- Bibi (saudara perempuan bapak) dan saudara perempuan kakek kedudukannya sama dengan bapak
- Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek kedudukannya sama dengan bapak
- Saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu, kedudukannya sama dengan ibu
- Anak perempuan paman, kedudukannya sama dengan paman
- Bibi pihak ibu (saudara perempuan ibu), kedudukannya sama dengan ibu
- Turunan dari rahim-rahim yang tersebut di atas
Contoh perhitungan pembagian warisan :
1) Seorang meninggal dunia ahli warisnya 2 orang anak laki-laki, harta warisan Rp 50.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Dua orang anak laki-laki tersebut mewarisi semua harta warisan karena keduanya sebagaa ashabah, masing-masing memperoleh setengahnya, yaitu ½ x Rp 50.000.000,- = Rp 25.000.000,-
2) Seseorang meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Harta warisan Rp 20.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak laki-laki = 2 x bagian anak prempuan = 2 bagian
Dua anak perempuan = 2 bagian
Jumlah = 4 bagian
Bagian anak laki-laki = 2/4 x Rp 20.000.000,-
= Rp 10.000.000,-
Bagian dua anak perempuan = 2/4 x Rp 20.000.000,-
= Rp 10.000.000,-
Bagian satu anak perempuan = Rp 5.000.000,-
3) Seseorang meninggal dunia. Ahli warisnya seorang anak perempuan, suami dan bapak, ia meninggalkan harta warisan Rp 120.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan = ½ (karena tunggal)
Suami = ¼ (karena ada anak)
Bapak = Ashabah (karena tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki)
Asal masalah (KPK) = 4
Anak perempuan = ½ x 4 = 2
Suami = ¼ x 4 = 1
Jumlah = 3
Sisa 4 – 3 = 1 (untuk bapak selaku ashabah)
Jumlah = 4 (KPK)
Bagian anak perempuan :
2/4 x Rp 120.000.000,- = Rp 60.000.000,-
Bagian suami :
¼ x Rp 120.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Bagian bapak :
¼ x Rp 120.000.000,- = Rp 30.000.000,-
Jumlah = Rp 120.000.000,-
4) Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, suami dan kakek. Harta peninggalan sebanyak Rp 2.400.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan = 1/2 (karena tunggal)
Cucu perempuan = 1/6 (karena ada seorang anak perempuan)
Suami = ¼ (karena ada anak)
Kakek = Ashabah (karena tidaka da anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak)
Asal masalah (K.P.K) = 12
Anak perempuan = 1/2 x 12 = 6
Cucu perempuan = 1/6 x 12 = 12
Suami = 1/4 x 12 = 13
Jumlah = 11
Sisa 12 – 11 = 1 (untuk kakek selaku ashabah)
Jumlah = 12
Anak perempuan = x Rp 2.400.000
= Rp 1.200.000,-
Cucu perempuan = x Rp 2.400.000
= Rp 400.000,-
Suami = x Rp 2.400.000
= Rp 600.000,-
Kakek = x Rp 2.400.000
= Rp 200.000,-
Jumlah = Rp 2.400.000,-
5) Seseorang telah meninggal dunia, meninggalkan harta warisan Rp 7.200.000,- ahli warisnya seorang istri, seorang anak laki-laki dan bapak. Berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Istri = 1/8 (karena ada anak)
Bapak = 1/6 (karena ada anak laki-laki)
Anak laki-laki = Ashabah
KPK = 24
Istri = 1/8 x 24 = 3
Bapak = 1/6 x 24 = 4
Jumlah = 7
Sisa = 24 – 7 = 17 (untuk anak laki-laki sebagai ashabah)
Jumlah = 24
Istri = x Rp 7.200.000 = Rp 900.000,-
Bapak = x Rp 7.200.000 = Rp 1.200.000,-
Anak laki-laki = x Rp 7.200.000 = Rp 5.100.000,-
Jumlah = Rp 7.200.000,-
Contoh-contoh perhitungan harta waris yang penulis cantumkan bermaksud untuk menerangkan bahwa apabila penyebut-penyebut dari beberapa ketentuan itu berlainan, hendaklah disamakan. Berarti perlu dicari kelipatan persekutuan terkecil dari beberapa penyebut ketentutan-ketentuan yang ada pada ahli waris. Hal yang demikian berlaku pula pada operasi hitung pecahan, sebagai contoh pada operasi penjumlahan, apabila hendak dicari jumlah dari kedua bilangan pecahan yang penyebutnya berbeda maka untuk menyelesaikannya terlebih dahulu perlu disamakan penyebutnya.
Contoh-contoh perhitungan harta waris yang penulis cantumkan di atas belm mewakilkan secara keseluruhan mengenai cara penyelesaian perhitungan harta waris. Cara penyelesaian perhitungan yang dimaksud adalah ‘Aul dan Radd. ‘Aul dilakukan jika jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak daripada kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya dan radd dilakukan bila ada sisa dari pembagian harta waris, sedangkan ahli waris yang ada hanya yang mendapat ketentuannya saja (dzawil furudh). Untuk lebih jelas mengenai ‘aul dan radd berikut penulis uraikan.
a. ’Aul
Dalam kitab Al-Mawarits di Syari’ail Islamiyah, Hasanain Muhammad Makhluf mendefinisikan bhawa ’aul dalam pembagian pusaka adalah adanya kelbihan dalam saham ahli waris dari besarnya asal masalah dan adanya penyusutan dalam kadar penerimaan mereka, dikarenakan asal muasalnya tidak cukup untuk memenuhi fard-fard dari dzawil furudh (Hasanain dalam Dian Khairul Umam, 1999: 134).
Dari pendapat Hasanain Muhammad Makhluf dapat penulis definisikan bahwa ’aul yaitu memperbesar angka asal masalah, sehingga menjadi sama dengan jumlah pembilang dari bagian ahli aris yang ada, karena perhitungannya lebih besar daripada harta yang mudah dibagi. Kegunaan ’aul ini untukmengatasi kesulitan pembagian harta waris, bila terjadi antara asal masalah yang dilambangkan dengan angka lebih kecil daripada jumlah pembilangnya.
Contoh, bila seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan dua saudara perempuan kandung, maka bagian masing-masing menurut ketentuan adalah 1/2 dan 2/3. Sedangkan faktor persekutuan yang terkecil dari 2 dan 3 adalah 6, maka kita jadikan bagian suami 3/6 dan dua saudara perempaun 4/6. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah ”7”, sedangkan penyebut keduanya adalah ”6” (3/6 dan 4/6 = 7/6). Dengan demikian angka pembilang lebih besar daripada angka penyebut. Untuk mengatasi masalah ini ditempuh dengan cara membulatkan (menambahkan) angka penyebut tersebut menjadi 7, dengan kata lain harta warisan itu dibagi menjadi 7 bagian, 3 bagian untuk suami, 4 bagian untuk dua saudara perempuan. Meningkatnya atau bertambahnya angka ”6” menjadi ”7” inilah yang disebut ’aul.
b. Radd
Radd menurut bahasa dalah mengembalikan, sedangkan menurut istilah adalah mengembalikan sisa harta pusaka kepada ahli waris, karena ahli waris yang ada hanya yang mendapat ketentuan saja, berarti tidak ada yang dapat menghabisi semua harta dan semua siswa (ashabah). Contoh: seorang meninggal dunia, meninggalkan seorang ibu dan seorang anak perempuan, ibu mendapat 1/6, karena ada anak. Seorang anak perempuan mendapat 1/2. Setelah harta warisan itu dibagi maka akan terasa = 6/6 – (1/6 + 3/6). Sisa ini boleh dibagi lagi baik dengan perbandingan 1 : 3, atau dengan cara lain atau diwakafkan menurut persetujuan keduanya.
Dari uraian mengenai pecahan dan ilmu faraidh di atas, terlihat bahwa operasi-operasi hitung pecahan banyak diterapkan dalam konsep hitung ilmu faraidh, oleh karena itu penulis berasumsi bahwa ”ada pengaruh penguasaan materi pecahan terhadap kemampuan menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faridh”. Namun terlepas dari hal di atas penguasaan materi pecahan tidak sepenuhnya berpengaruh pada kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faridh. Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan perhitungan harta waris kemungkinan lebih dikarenakan siswa tidak mengetahui berapa bagian masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan oleh aturan syara’. Terlepas dari kemungkinan tersebut, peneliti membuat tes sedemikian rupa sehingga siswa dapat mengetahui berapa baigan masing-masing ahli waris dan berfokus pada perhitungan yang berkaitan dengan operasi-operasi hitung pecahan sehingga siswa bisa terhindar dari kemungkinan tersebut serta dapat memberikan jawaban terhadap rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti dalam skripsi ini.
Dalam kitab Al-Mawarits di Syari’ail Islamiyah, Hasanain Muhammad Makhluf mendefinisikan bhawa ’aul dalam pembagian pusaka adalah adanya kelbihan dalam saham ahli waris dari besarnya asal masalah dan adanya penyusutan dalam kadar penerimaan mereka, dikarenakan asal muasalnya tidak cukup untuk memenuhi fard-fard dari dzawil furudh (Hasanain dalam Dian Khairul Umam, 1999: 134).
Dari pendapat Hasanain Muhammad Makhluf dapat penulis definisikan bahwa ’aul yaitu memperbesar angka asal masalah, sehingga menjadi sama dengan jumlah pembilang dari bagian ahli aris yang ada, karena perhitungannya lebih besar daripada harta yang mudah dibagi. Kegunaan ’aul ini untukmengatasi kesulitan pembagian harta waris, bila terjadi antara asal masalah yang dilambangkan dengan angka lebih kecil daripada jumlah pembilangnya.
Contoh, bila seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan dua saudara perempuan kandung, maka bagian masing-masing menurut ketentuan adalah 1/2 dan 2/3. Sedangkan faktor persekutuan yang terkecil dari 2 dan 3 adalah 6, maka kita jadikan bagian suami 3/6 dan dua saudara perempaun 4/6. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah ”7”, sedangkan penyebut keduanya adalah ”6” (3/6 dan 4/6 = 7/6). Dengan demikian angka pembilang lebih besar daripada angka penyebut. Untuk mengatasi masalah ini ditempuh dengan cara membulatkan (menambahkan) angka penyebut tersebut menjadi 7, dengan kata lain harta warisan itu dibagi menjadi 7 bagian, 3 bagian untuk suami, 4 bagian untuk dua saudara perempuan. Meningkatnya atau bertambahnya angka ”6” menjadi ”7” inilah yang disebut ’aul.
b. Radd
Radd menurut bahasa dalah mengembalikan, sedangkan menurut istilah adalah mengembalikan sisa harta pusaka kepada ahli waris, karena ahli waris yang ada hanya yang mendapat ketentuan saja, berarti tidak ada yang dapat menghabisi semua harta dan semua siswa (ashabah). Contoh: seorang meninggal dunia, meninggalkan seorang ibu dan seorang anak perempuan, ibu mendapat 1/6, karena ada anak. Seorang anak perempuan mendapat 1/2. Setelah harta warisan itu dibagi maka akan terasa = 6/6 – (1/6 + 3/6). Sisa ini boleh dibagi lagi baik dengan perbandingan 1 : 3, atau dengan cara lain atau diwakafkan menurut persetujuan keduanya.
Dari uraian mengenai pecahan dan ilmu faraidh di atas, terlihat bahwa operasi-operasi hitung pecahan banyak diterapkan dalam konsep hitung ilmu faraidh, oleh karena itu penulis berasumsi bahwa ”ada pengaruh penguasaan materi pecahan terhadap kemampuan menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faridh”. Namun terlepas dari hal di atas penguasaan materi pecahan tidak sepenuhnya berpengaruh pada kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faridh. Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Ketidakmampuan siswa dalam menyelesaikan perhitungan harta waris kemungkinan lebih dikarenakan siswa tidak mengetahui berapa bagian masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan oleh aturan syara’. Terlepas dari kemungkinan tersebut, peneliti membuat tes sedemikian rupa sehingga siswa dapat mengetahui berapa baigan masing-masing ahli waris dan berfokus pada perhitungan yang berkaitan dengan operasi-operasi hitung pecahan sehingga siswa bisa terhindar dari kemungkinan tersebut serta dapat memberikan jawaban terhadap rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti dalam skripsi ini.
C. Kerangka Berpikir
Pecahan adalah “bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005:44). Materi pecahan sudah diajarkan pada peserta didik sejak sekolah dasar dan berlanjut pada jenjang Sekolah Menengah Pertama. Tujuan diberikan materi pecahan adalah “untuk memahami konsep bilangan pecahan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari” (Yatim, 2006: 174). Sesuai dengan tujuan diberikannya materi pecahan maka penulis dapat mengemukakan bahwa materi pecahan juga dapat digunakan dalam penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Ilmu faraidh adalah “ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris menurut bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an” (Amir, 1996 :8). Perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh banyak menggunakan operasi-operasi hitung pecahan artinya materi pecahan banyak diterapkan dalam konsep perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Dari uraian-uraian di atas penulis dapat mengemukakan bahwa penguasaan materi pecahan sangat berpengaruh terhadap kemampuan penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Berdasarkan kenyataan yang telah diuraikan tersebut, penulis simpulkan bahwa ada pengaruh penguasaan materi pecahan terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008.
Pecahan adalah “bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan” (Panco, 2005:44). Materi pecahan sudah diajarkan pada peserta didik sejak sekolah dasar dan berlanjut pada jenjang Sekolah Menengah Pertama. Tujuan diberikan materi pecahan adalah “untuk memahami konsep bilangan pecahan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari” (Yatim, 2006: 174). Sesuai dengan tujuan diberikannya materi pecahan maka penulis dapat mengemukakan bahwa materi pecahan juga dapat digunakan dalam penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Ilmu faraidh adalah “ilmu yang membahas tentang pengaturan dan pembagian harta waris bagi ahli waris menurut bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an” (Amir, 1996 :8). Perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh banyak menggunakan operasi-operasi hitung pecahan artinya materi pecahan banyak diterapkan dalam konsep perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh.
Dari uraian-uraian di atas penulis dapat mengemukakan bahwa penguasaan materi pecahan sangat berpengaruh terhadap kemampuan penyelesaian perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh. Berdasarkan kenyataan yang telah diuraikan tersebut, penulis simpulkan bahwa ada pengaruh penguasaan materi pecahan terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008.
D. Hipotesis Penelitian
Dalam statistik : hipotesis dapat diartikan “sebagai pernyataan tentang parameter populasi, sedangkan dalam penelitian, hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian” (Sugiono, 2006: 81).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan hipotesis hubungan (asosiatif). Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah Ha “Ada pengaruh yang signifikan antara penguasaan materi ’pecahan’ terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008”.
Dalam statistik : hipotesis dapat diartikan “sebagai pernyataan tentang parameter populasi, sedangkan dalam penelitian, hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian” (Sugiono, 2006: 81).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan hipotesis hubungan (asosiatif). Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah Ha “Ada pengaruh yang signifikan antara penguasaan materi ’pecahan’ terhadap kemampuan siswa menyelesaikan perhitungan harta waris dalam ilmu faraidh di kelas XI MAN 1 Mataram tahun ajaran 2007/2008”.
saya pengajar ilmu faroid di salah satu pondok pesantren. boleh minta skripsinya yang lengkap untuk jadi bahan rujukan, kirim ke isab314@yahoo.com
BalasHapusSAYA JUGA
BalasHapusTOLONG MNTA KIRIMIN SKRIPSINYA
DI akhyar120@gmail.com
bagus banget ini,,kalo boleh saya minta juga file nya
BalasHapusimam.ghozaliee@gmail.com