BAB I
A. PENDAHULUAN
Tafsir merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kita, bahkan di Indonesia sendir kitab-kitab tafsir telah dikaji di banyak pondok pesantren, ini merupakan satu tanda bahwa keilmuan tafsir dalan Negara kita cukup membanggakan, selain itu Tafsir sendir merupakan salah satu cara diman kita bias memahami Al-Qur’an, keberadaan tafsir ini begitu popular dimasyarakat mulai dari zaman Nabi saw sendiri dan sampai sekarang, maka ini merupakan salah satu warisan ilmu yang perlu mendapatkan perhatian serius demi kemashlahatan umat Islam dan perlu dikembangkan sesuai dengan tuntutan ilmu pengethuan dan teknologi zaman. namun apakah sebenarnya tafsir itu? Untuk menjawab itu makalah ini disusun.
B. Rumusan masalah :
1. Apakah pengertian Tafsir itu?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tafsir?
3. Apakah semua orang bias menafsirkan Al-Qur’an ?
4. Apakah ilmu yang mendukung dalam penafsiran ?
5. Apa beda tafsir dan ta’wil?
6. Kaidah apa yang digunakan Mufassir ?
C. Tujuan :
1. kita dapat mengetahui pengertian tafsir dan ta’wil.
2. untuk mempelajari perbedaan tafsir dan ta’wil.
3. menjelaskan sejarah perkembangan tafsir dan ta’wil.
4. menjelaskan dan menyebutkan macam-macam tafsir dan ta’wil.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Kata tafsir diambil dari kata fassara yufassiru tafsiiran( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap dan melahirkan .
Hal ini senada dengan pendapat yang mengatakan bahwa tafsir adalah menyingkapkan maksud dari lafadz yang sulit dalam Al-Qur’an, didalam Al-Qur’an disebutkan tentang makna tafsir :
اوَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرً
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu perumpamaan, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. 25:33)
Yang berarti keterangan dan perincian. Ibnu Abbas berkata tentang Firman Allah tersebut diatas, makna lafadz tafsir diatas adalah perincian .
Jadi tafsir secara bahasa adalah menyingkapkan, menjelaskan, menerangkan, memberikan perincian atau menampakkan.
Adapun tafsir menurut istilah adalah terdapat banyak pendapat :
1. Tafsir menurut Al-Kilab Dalam At-tashil adalh menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuan.
2. Menurut Syaikh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalahnya.
3. Menurut Abu Hayyan tafsir adalah mengenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hokum dan makna yang terkandung didalamnya.
4. Menurut Al-Zarkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan hokum dan hikmahnya .
B.Pengertian Ta’wil
Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl(أوّل - يؤوّل ), artinya kembali; atau dari kata al ma’al( ) artinya tempat kembali; al- iyalah( ) yang berarti al –siyasah( ) yang berarti mengatur. Muhammad husaya al-dzahabi , mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :
Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan.
Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat], (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
Secara Terminologi, Ulama Salaf mendefinisikan takwil sebagai berikut:
a.Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa
“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.”
b.Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa:
“Membawa makna lafazh zohir yang memunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yaitu:
Menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.”
Menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu.
Perbedaan antara tafsir dengan ta’wil
Tentang perbedaan tafsir dan ta’wil ini banyak pendapat ulama yang pendapat tentang ini,dan pendapat ulama itu tidak sama dan bahkan ada yang jauh perbedaan satu sama lain, maka dari itu bias kita simpulkan sebagai berikut:
Tafsir lebih banyak digunakan pada lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
Tafsir apa yang bersangkutan paut dengan riwayah sedangkan ta’wil apa-apa yang bersangkutan paut dengan dirayah.
Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan ta’wil hanya menjelaskan secara global tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
Ta’wil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir menjelaskan secara dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan para ulama dalam penafsiran itu.
Tafsir menjelaskan lafas yang zahir ,adakalanya secara hakiki dan adakalanya secara majazi sedangkan ta’wil menjelaskan lafas secara batin atau yang tersembunyi yang diambil dari kabar orang orang yang sholeh.
Sejarah Perkembangan Tafsir
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:
(a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas;
(b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan
(c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."
Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
1. Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah
sebagai sumber penafsirannya.
2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber
penafsirannya.
3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang
biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga
disebut sebagai tafsir shufi.
Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya
Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.
Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut:
1. Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy.
2. Tafsir Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah
fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir
bilma’tsur.
3. Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan
filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam.
Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bir-
Ra’yi.
4. Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan
pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya
tafsir bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi.
5. Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada
masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya
tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada
juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj
(tafsir campuran), karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran
dilihatnya seimbang.
Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya
1. Metode Tahlily (metode Analisis)
Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut.
2. Metode Ijmaly (metode Global)
Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.
3. Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75].
4. Metode Maudhu’i (metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut
Macam-macam ta’wil
1) Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak mempunyai dalil yang terendah sekalipun.
2) Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta diduga sebagai makna yang benar
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menjadi keharusan bagi mufasir untuk mempertimbangkan, dalam setiap upaya pendekatan ilmiahnya terhadap Al-Qur'an, fakta bahwa nash Al-Qur'an adalah sabda Tuhan (Muhammad Abu
Musa: Min Asrâr al-Ta'bir al-Qur'aniy). Upaya penafsiran atau pendekatan ilmiah apapun terhadap Al- Qur'an selalin menuntut kompetensi intelektual para pelakunya juga mengundang ketawadluan mentalitas dan spiritualitas penafsir.
Keagungan Allah SWT, tujuan-tujuan syariat dan hikmah serta kemutlakan ilmu-Nya senantiasa mengiringi dan menyinari proses penakwilan agar tidak terperosok ke dalam jebakan filsafat positivisme yang menyampingkan dimensi metafisik teks kitab suci dalam petualangan untuk profanisasi kitab suci yang sakral.
Umat Islam sudah waktunya untuk kembali kepada ajaran-ajaran Rasulullah Saw dan teladan para sahabat dan para tabi'in dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an. Dengan mengembalikan tujuan penafsiran pada jalur yang benar bukan berdasarkan keegoan intelektual semata. Umat Islam harus berani untuk menujukkan jati dirinya dengan segala pemikiran-pemikiran dan amal perbuatannya yang tetap konsisten terhadap aturan Sang Pencipta dan Rasul-Nya dalam menyikapi pemahaman dan pengamalan atas Al-Qur'an.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Hamdani Anwar.1995. Pengantar Ilmu Tafsir (bagian Ulumul Quran). Jakarta: Fikahati Aneska
Drs. Ramli Abdul Wahid. 1994.UlumulQuran. Jakarta: Rajawali.
Dr. Nashruddin Baidan. 1998.Metodologi Penafsiran Alquran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar