Pages

Rabu, 30 Maret 2011

sejarah Qadariyah

QADARIYAH
1. LATAR BELAKANG MUNCULNYA QADARIYAH
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah dalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tadak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qadrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tubduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa Qadh lawan mear menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadist yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah. hadist itu berbunyi :


Artinya : “kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini”



Kapan qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari damaskus dan ayahnya menjadi maula usman bin Affan.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang kristen dari Irak yang telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian lain berpendapat bahwa fahama ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah Kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan dokterin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai satu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkeritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
Dokterin-dokterin Qadariyah:
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahsan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang dokterin-dokterin Mu’tazilah,sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa dokterin qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini menjadikan salah satu dokterin Mu’tazilah. Akibatnya, seringkali orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang dokterin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. salah seorang pemuka qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukaakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat difahami bahwa dokterin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasub manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbutan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga, manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang beratus kilogram, dan lain-lain. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Demikian juga anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil, manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan sehingga dia dapat juga berenang di laut lepas. Demikian juga, manusia dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat yang dibawa gajah, bahkan lebih dari itu. Disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? Siapa dapat membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, di mana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Dokterin-dokterin ini mempunyai tempat pijakan dalam dokterin Islam sendiri. Banyak awal Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]:29:

Artinya :
“Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa Yang ingin kafir, biarlah ia kafir.”
(Q.S. Al-Kahfi [18]:29)
Dalam surat Ali Imran [3]:165 disebutkan:


Artinya :
“Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal telah mendapat kemenangan dua kali (pada Perang Badar), lalu kamu berkata; Dari manakah bahya ini? Katakanlah, sebabnya dari kesalahan kamu sendiri.”
(Q.S. Ali Imran [3]:165)
Dalam surat Ar-Ra’d [13]:11 disebutkan :


Artinya ;
“Sesungguhanya Allah tiada mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
(Q.S. Ar-Ra’d [13];11)
Dalam surat An-Nisa[4]:111 disebutkan ;


Artinya :
“ Dan barang siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.”
(Q.S. An-Nisa [4]:111)
2. TOKOH-TOKOH QADARIYAH
Paham Qadariyah muncul kira-kira pada tahun 70 H, yang dipelopori oleh:
1. Hasan Al-Basri.
2. Ma’bab Al-jauhani Al-Basri,
3. Gailan Ad Dimasyqi,
4. Khalifah Abdul Malik bin Marwan di Irak
5. Dan lain-lain
Ibnu Nabatah dalam kitabnya syaerh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. orang Irak yang dimaskud sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari al-Auzi adalah Susan.
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di Irak. Ia lahir di Medinah, tetapi pada tahun 675, pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang qadariyah atau bukan, hal ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan ad-Dimasqy menurut Watt adalah penganut qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’ad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan Al-bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibn Nabatah dalam syahrul Al-uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Irak kristen yang termasuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutip Ignez goldziher, di kalangan Greja Timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir dokterin qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.
3. AJARAN/PEMIKIRAN THEOLOGI YANG DIKEMBANGKAN
Paham Qadariyah
Paham Qadariyah ini pada hakikatnya sebagian dari paham Mu’tazilah, karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang Mu’tazilah, akan tetapi sepanjang sejarah persoalan Qadariyah ini merupakan suatu soal yang besar juga yang harus menjadi perhatian.
Timbulnya aliran Qadariyah ini di Irak pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Aliran ini berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan segala amal perbuatannya dengan kemauan dan kekuasaan sendiri manusia dapat berbuat baik atau buruk dengan tidak ada kekuasaan lain yang memaksanya. Dasar fikiran ini adalah adanya ketentuan pahala dan siksa, bagi mereka yang berbuat baik akan mendapat pahala dan mereka yang berbuat dosa akan mendapat siksa.
Hal tersebut tidak akan terlaksana bila perbuatan manusia tidak dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab atas segala perbuatanya. Paham ini bertentanagn sekali dengan faham Ahlussunnah Waljamaah.
Adapun referensi lain juga mengatakan hal yang sama tentang faham qadariyah yaitu bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
ALIRAN QADARIYAH
Aliran qadariyah atau disebut Mu’tazilah adalah suatu aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran daripada prinsip ajaran Al-Qur’an dan Hadist sendiri. Al-Qur’an dan Hadist mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang mneyerap hasil tangkapan pancaindra yang serba terbatas kemampuannya. Jadi, seharusnya logika dank an pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qur’an dan Hadist, bukan sebaliknya.
Kaum Qadariyah atau Mu’tazilah dalam mengartikan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist yang ada hubungannya dengan ilmu Tauhid telah menggunakan cara berfikir yang sama seperti mereka yang berfikir tentang akhlak, perundang-undangan dan filsafat. Begitu juga dalam mengkaji tingkah laku manusia secara Tauhid. Misalnya dalam masalah kemerdekaan kemauan manusia untuk berbuat mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa manusia itu bebas utnuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya sendiri. Karena itulah, manurut Qadariyah/Mu’tazilah, manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik dan menerima celaan dan hokum atas perbuatannya yang salah dan dosa.
Karena pendapatnya bahwa manusia mempunyai kuasa penuh atas perbuatannya sendiri itulah maka golongan ini disebut Qadariyah oleh lawan-lawannya. Mereka sendiri tidak senang disebut kaum Qadariyah. Mereka menamakan dirinya kaum Ahli Adil wat-Tauhid. Adil yang mereka maksud ialah bahwa karena mereka tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa Allah SWT. Mentakdirkan orang berbuat dosa, lalu Allah menyiksa orang itu. Itu tidak adil, kata mereka. Yang adil ialah seperti yang menjadi pendapat mereka, yaitu bahwa manusia itu bebas dan berkuasa penuh atas segala perbuatannya, sehingga wajarlah kalu manusia menerima balasan baik atau buruk atas perbuatannya. Dan yang dimaksud dengan nama mereka Ahli Tauhid, ialah karena mereka mengannggap Allah SWT. Itu benar-benar Esa, Satu tanpa ditambah sifat apa-apa. Kalau yang berkuasa itu zat Allah, bukan Allah memiliki sifat Qudrat sebab menurut mereka kalau dikatakan bahwa Allah memilki sifat, berarti bahwa Allah SWT. Itu tidak Esa/Satu lagi. Apalagi kalau dikatakan bahwa Allah itu juga Qadim, sebab jika demikian kata mereka sifat Allah itu sama dengan zat-Nya sendiri.
Menurut Dr. Ahhmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran Qadariyah itu ialah :
1. Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan buka mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal. Pendapat mereka itu sperti timbul sesudah terjadi pembunuhan Khalifah Utsman, perang unta antara Khalifah Ali dan Siti ‘Aisyah janda Nabi SAW. Dan perang Shiffa antara Khalifah Ali dan mu’wiyah yang mneyebabkan banyak orang bertanya : siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu. Sesudah itu mereka bertanya apakah yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua peristiwa peperangan itu menjadi kafir atau masih tetap mukmin? Pertanyaan itu oleh Kaum Khawarij dijawab bahwa orang yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir. Sebaliknya Kaum Murjiah mengatakan, bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mukmin. Sedangkan Washil bin ‘Atha, seorang tokoh qadariyah/Mu’tazilah bahwa yang melakukan dosa besar itu fasik dan kedudukanya antara kafir dan mukmin, tapi kata ‘Atha, orang yang melakukan dosa besar itu kekal dalam neraka.
2. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah kata mereka, yang menciptakan segala amal perbuatannya dan karena itulah maka manusia akan menerima balasan baik (surga) atas segala amalnya yang baik, dan manusia akan menerima balasan buruk (siksa nerka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula, maka Allah SWT. Berhak disebut adil. Boleh jadi pendapat mereka itu dipengaruhi oleh pendapat Jaham bin shafwan yang ekstrim yang menyatakan yang sebaliknya yaitu bahwa tidak mempunyai kekuasaan atau kemampuan apa-apa, sehingga tidak ada bedanya dengan batu yang menerima apa saja yang berlaku atas dirinya. Menurut datang ke Khurusan untuk bertukar pikiran atau berdebat dengan jaham bin Shafwan.
3. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau Satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly., seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas zat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim itu, menurut Qadariyah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal allah itu sati dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan. Mungkin sekali yang menyebabkan mereka berpendapat demikian itu ialah karena pada zaman mereka banyak orang yang menganggap bahwa zat Allah SWT. Itu jasmani dan memiliki sifat-sifat yang sama dengan sifat-sifat mahluk, antara lain ialah Mu’tazil bin Sulaiman yang hidup sezaman dengan tokoh qadariyah. Mu’tazilah, Washil bin ’Atha.
4. Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, walaupun Allah tdak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. Misalnya, benar itu memilki sifat-sifat sendiri yang menyebabkannya baik, dan sebaliknya ialah bohong itu juga memiliki sifat sendiri yang menyebabkan buruk. Oleh karena itulah maka semua orang yang berakalal Mu’tazilah muncul mula-mula di Basrah, lalu tersebar luas diseluruh Irak atas prakasa Washil bin ‘Amr bin Ubaid pada tahun 105 H. Atau tahun 723 M.

Ayat-ayat yang boleh membawa kepada Qadariyah umpanya :
Al-kahfi,(18)-29


Katakanlah : “Kebenaran datang dari Tuhan. Siapa yang mau, percayalah ia, siapa yang mau janganlah ia percaya.”
Fussilat, (41)-40



“Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat.”
Al-imran, (3)-164


Bagaimana? Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda (pada kaum musryik di Badar) kamu bertanya :” Dari mana datangnya ini?” jawablah: “ Dari kamu sendiri.”
Al-Rafd,(130-11


“Tuhan tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu bangsa, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”

4. KRITIK KELOMPOK MENGENAI PEMIKIRAN QADARIYAH
Berdasarkan penjelasan mengenai faham Qadariyah diatas kami dari kelompok IV (empat) memberikan beberapa kritikan mengenai adanya faham Qadariyah tersebut, dimana jikalau faham tersebut tetap berkembang sampai sekarang ini menurut kelompok kami ada beberapa hal yang akan terjadi pada diri pribadi manusia diantaranya yaitu:
Dampak Negatif :
a. Manusia merasa diri sangat berkuasa atas segala perbuatan yang dilakukannya, tanpa berfikir bahwa sesungguhnya dibalik kekuasannya dalam berbuat itu Allah lah yang paling berkuasa atas segala sesuatunya.
b. Mengurangi rasa percaya dan keyakinan kita bahwa sesunggunhnya Allah yang paling berkuasa dalam setiap urusan yang ada.
c. Manusia akan menjadi angkuh dan sombong terhadap semua perbuatan yang dilakukannya, dimana jika mereka (manusia) berbuat sesuatu kebaikan maka dia akan membangga-banggakan dirinya, sementara telah kita ketahui bahwa kita tidaklah patut menyombongkan diri atau bersikap angkuh didunia ini karena yang patut untuk sombong hanyalah Allah SWT.
d. Silaturrahmi atau hubungan sesama manusia akan menjadi renggang dan bahkan bisa menjadi musuh.
Dampak positif :
a. Selalu berusaha sungguh-sungguh karena selalu merasa yakin bahwa usaha yang dilakukannya akan berhasil karena atas kehendaknya sendiri atau tidak ada campur tangan Tuhan.
b. Selalu optimis dalam mengerjakan sesuatu
c. Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi
d. Selalu merasa puas atas perbuatannya




5. REFERENSI BUKU
a. Pelajaran Ilmu Kalam. kurikulum 1984 edisi 1994 penerbit wicaksana semarang : Drs. H.Moh. Rifa’i dan Drs.RS.Abdul Aziz.
b. Teologi Islam, Harun Nasution.2002.Penerbit:Universitas Indonesia. Jakarta.
c. Ilmu kalam. Drs.Rosihan Anwar,M.Ag. dan Drs.Abdul Rozak, M.Ag. Penerbit:Pustaka Setia Bandung;2009.
d. Ilmu Tauhid.1992.

4 komentar:

  1. ma'af,, ini sumbernya dari kitab mana .??
    tolong kasih tau katalognya., judul buku, pengarang, tahun terbit. penerbit, dan hal. kitabnya. .

    BalasHapus
  2. oia ma'af,, selain referensi di atas, ada lagi nggak ..???

    BalasHapus