Pages

Minggu, 18 Desember 2011

TAFSIR TARBIYAH KONSEP-KONSEP PENDIDIKAN KONSEP TARBIYAH, TA`LIM, TAZKIYAH, TILAWAH

Tafsir Tarbiyah

KONSEP-KONSEP PENDIDIKAN

Konsep Tarbiyah, Ta`lim, Tazkiyah, dan Tilawah
A. Pengantar
Al Quran memiliki konsep tarbiyah yang unik, di dalamnya juga terdapat prinsip-prinsip pokok tarbiyah yang unik, keduanya memiliki perbedaan yang cukup besar.
Adapun konsep tarbiyah dalam Al Quran adalah jalan yang diampukan oleh Al Quran kepada semua umat Islam agar megikutinya dan berpegang teguh padanya. Adapun prinsip-priinsi pokok tarbiyah adalah seperangkat hukum, aturan dan nilai yang dibangun dan didakwahkan oleh Islam, dalam rangka membangun kepribadian, akhlak dan prilaku mereka, yang tercakup dalam hukum halal dan haram, aneka nilai akhlak yang diajarkan dan didakwahkan oleh Al Quran.
Sedang yang kami maksud konsep tarbiyah disini adalah konsep yang diampu oleh Al Quran, bukan yang disentuh oleh ajaran Islam secara umum.Karena Islam adalah agama yang secara garis besar aadalah konsep tarbiyah umat Islam secara menyeluruh, yang mewarnai jiwa, raga dan akal pikirannya, untuk meningkatkan kepribadiannya pada derajat fitrah yang hakiki.
Konsep tarbiyah yang menjadi tema bahasan kita dalam buku ini, terbagi ke dalam cabang dan bagian-bagian yang beragam banyaknya, akan menjadi panjang dan lama jika kita membahasnya dengan rincian dan detail-detailnya.
Kita akan mengambil prinsip-prinsip pokok dan pendukungnya secara global, dan membahsnya dengan tuntas, agar jelas dalam pandangan kita betapa pentingnya prinsip-prinsip ini dalam lingkup tarbiyah secara umum, dan jelas pula betapa butuhnya para murabbi di setiap medan tarbiyah pada prinsip-prinsip tersebut, sebagai panduan dan pendukung mereka dalam melakukan proses tarbiyah.
Pemahaman kita akan prinsip-prinsip ini akan memabawa kita kepada studi dan analisa lebih lanjut, lalu membuahkan nilai bagi konsep tarbiyah yang baru dan smart yang mana setiap ulama tarbiyah harus mengetahuinya, semenjak tarbiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri, semenjak tarbiyah memiliki urgensi dalam tataran pengajaran dan pendidikan, dengan melihat ragam dan jenjang tarbiyah itu sendiri.
Inilh yang kami maksud dengan “Konsep tarbiyah dalam Al Quran” di buku kami yang ringkas dan sederhana ini.Bertolak pada penjelasan di atas, ada tiga prinsip dasar tarbiyah yang dibangun dalam konsep tarbiyah Al Quran, ketiga prinsip dasar itu adalah pertama muhakamah aqliah.Kedua ibrah dari sejarah, ketiga menggugah emosi.
Semua model tarbiyah yang kita dapatkan dalam Al Quran bermuara pada satu dari tiga prinsip dasar tarbiyah di atas, beredar dalam poros dan berjalan sesuai dengan salah satu dari tiga prinsip dai atas.
Dalam prakteknya ketiga prinsip dasar tarbiyah selalu terpisah, namun kesatuan dari ketiganya mencerminkan tangga yang harus kita pakai dalam menaikkan kepribadian dan akal pada posisi yang lebih tinggi dan mulia, yang mana fitrah kemanusiaan selalu cenderung padanya..
Akal saja tidak cukup untuk menumbuhkan kepercayaan diri, selama tidak ada dukungan realita yang menguatkannya, yang tercemin dalam sejarah dengan peristiwa dan ibrah yang selalu menyertainya. Bahkan ketika hati kita telah merasa kepercayaan diri, belumlah akan menjaadi tertarah dan terdorong, kecuali setelah ada tentara dan prajurit emosi dan perasaan yang kami sebut dengan menggugah emosi.
Jika tiga faktor ini terpenuhi dalam diri setiap anak manusia, dan membeikan panduan yang jelas kepada satu jalan, maka tidak akan ada rintangan ataupun halangan berarti dalam mencapai tujuannya.
Kita tidak akan terjauhkan dari hakikat sesuatu, terhalang untuk sampai pada tujuan hakikat tersebut, kecuali apabila salah satu dari ketiga faktor di atas tdak menunjukkan perannya dengan baik dalam menemukan, menyingkap dan memudahkan jalan pada hakikat ini.
Kita akan lihat pada bab-bab yang akan datang, bagaimana Al Quran memberikan sentuhan tiga faktor di atas dalam mendidik manusia, menggiring mereka pada jalan kebenaran dan kebahagiaan.
Dialog Aqliah

Dialog aqliah Al Quran bisa kita lihat dari tiga sisi berikut ini :
Pertama, pengenalan jati diri manusia
Al Quran memulai dialognya bersama manusia dengan mengarahkann mereka pada perenungan dan penghayatan akan jati diri mereka, dan berbicara tentang asal muasal, hakikat diri, pertumbuhan dan perkembangannya.
Hal ini secara jelas kita lihat di ayat pertama Al Quran yang turun, sebagaimana kita lihat pada lembaran-lembaran pertama Al Quran dari sisi penulisan secara tertib dan urut. Ayat pertama yang turun berisi pengenalan manusia dan jati dirinya, Allah swt berfirman :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” .(QS. Al Alaq : 1-5)
Kita perhatikan Allah tidak menunjukkan rububiyyah dan keesaan-Nya kepada manusia untuk awal ayat yang turun ini, namun Allah justru menunjukkan manusia kepada jati diri, asal muasal dan proses kejadiannya.
Begitu juga lembaran pertama Al Quran dari surat Al Baqarah, yang merupakan surat pertama dalam Al Al Quran (setelah ummul kitab), berisi tentang pengelompokan manusia dalam kehidupan di dunia ini, ada kelompok manusia beriman, kelompok manusia kafir dan kelompok manusia munafik, lalu sejarah perkembangan dan akhir kehidupann mereka.
Peringatan Allah kepada manusia akan jati dirinya dalam ayat di atas akan selalu berulang dalam surat-surat yang lain, jika kontek surat membutuhkan dalil adanya alam semesta dan realitas umat manusia, sebagai bukti bagi wujudnya Allah sang Khaliq, keesaan-Nya sekaligus juga hari akhir dengan segala kejadian dan peristiwa yang melingkupinya.
Ini adalah prolog yang memiliki nilai tarbiyah sangat penting, karena semua pengetahuan yang didapatkan manusia pada hakikatnya adalah buah dari pengetahuan sebelumnya, yakni pengetahuan akan jati dirinya. Tanpa pengetahuan awal ini, manusia tidak akan menemukan timbangan yang valid bagi pengetahuan yang berkembang dibawahnya. Kalau kita tidak yakin dengan akal dan tugasnya, maka kita tidak akan percaya kata-kata dan hasil pemikirannya, kalau bukan karena pengetahuan kita akan jati diri kita yang terdiri dari unsur ruhani dan jasmani, maka kita tidak akan sampai pada pengetahuan tentang hakikat alam semesta yang bertebaran di sekitar kita, dan kita tidak akan memahami hubungan kita dengan alam semesta.
Begitulah...apabila pengetahuan kita akan hakikat diri kita itu baik dan benar, maka pengetahuan kita akan alam semesta ini akan baik dan benar pula.
Sebaliknya, jika kita tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang jati diri kita dan batasan-batasannya, maka kita juga tidak akan sempurna dalam memahami uluhiyyah Allah, tidak akan benar aqidah kita tentang alam semesta, awal dan akhir perjalanannya, karena kepercayaan diri kita merupakan sumber bagai kepercayaan kita kepada setiap teori dan aturan hukum yang kita hasilkan. Apabia pencari kebenaran tidak yakin dengan diri dan akal yang ia punya, atau dalam kondisi yang tidak benar, maka akan hilanglah semua keyakinan akan ilmu dan pengetahuan dalam dirinya, dan kalaupun ilmu pengetahuan itu ia dapatkan, pasti penuh dengan kesalahan.
Mari kita renungkan ayat-ayat berikut ini :
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ (7) إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ (8)
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).”(1)
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya.” (QS. Al Haj : 5)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al Mukminun : 12-14)
Jika kita merenungi ayat-ayat ini dan yang semisal dengannya, maka ayat-ayat itu berisikan tentang hakikat alam semesta ini, dengan keterpaduan dan ketundukannya pada aturan Tuhan yang Esa.Ayat-ayat ini menjadi prolog dalam menyingkap hakikat alam semesta dalam akal dan pikiran manusia.
Jika kita bersungguh-sungguhh dalam merenungi ayat-ayat Al Quran, maka kita akan melihat, bahwasanya Al Quran tidak akan berpanjang-panjang dan mendetail dalam menganalisa segala hal yang berkaitan dengan alam semesta, bahwasanya Al Quran tidak akan berbicara dengan gaya bahasa yang sangat beragam tentang awal munculnya alam semesta dan perkembangannya, sebagaimana yang dilakukan Al Quran ketika membahas dan membicarakan manusia.


(1)     Lihat Q.S Ath-Thariq ayat 5-
A.    Materi
1.      Konsep Tarbiyah
a.      Definisi Tarbiyah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :‘   
وَمَا اجتَمَعَ قَومٌ في بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتلونَ كِتابَ اللهِ وَيتَدارَسُونَهُ بَينَهُم إِلا نَزَلَت عَلَيهُم السَّكيْنَة وَغَشِيَتْهم الرَّحمَة وحَفَتهُمُ المَلائِكة وَذَكَرهُم اللهُ فيمَن عِندَهُ
“Dan tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu masjid dari masjid-masjid Allah, untuk membaca Al Qur’an dan mereka saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan, diliputi rahmat, dan dikelilingi malaikat, dan mereka akan disebut-sebut Allah dihadapan makhluq-makhluq yang ada di sisi-Nya (para malaikat).” (2)
Kata تَدَارُسٌ tadaarusunjika diwaqaf menjaditadaarus berasal dari kata دَرَسَ darasa yang artinya adalah belajar.Kemudian mengikuti wazan تَفَاعَلَ tafaa’ala, sehingga mauzunnya menjadi تَدَارَسَ tadaarasa.Fi’il yang mengikuti wazan ini salah satunya mempunyai arti لِلْمُشَارِكَةِ fa’il (subjek) dan maf’ulnya (objek) bersamaan dalam melakukan perbuatan, sehingga artinya menjadi saling mempelajari. Kemudian ditashrif :
تَدَارَسَ – يَتَدَارَسُ – تَدَارُساً
Sehingga mendapatkan kata تَدَارُساًtadaarusan, yang berkedudukan sebagai mashdar. Sehingga artinya adalah pembelajaran secara bersama-sama, allohu a’lam.‘
Kata يتَدَارَسُوْنَ yatadaarasuuna, terdiri dari kata يَتَدَارَسُ yatadaarasu dan dhomir muttashilهُمْhum  (mereka). Sehingga artinya menjadi mereka saling mempelajari.(3)





(2) HR Muslim no. 2699 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
(3) Faidah dari Al Ustadz ‘Abdul Mu’thi Al Maidany hafizhahullah.

Apabila kita merujuk kepada mu'jam (kamus) bahasa Arab kita akan mendapatkan bahwa kata "Tarbiyah" sedikitnya memiliki tiga asal kata ;Pertama, robaa-yarbuu yang berarti bertambah dan berkembang. (ar-Rum : 39). Kedua, robiya-yarba yang berarti tumbuh dan terbina.Dan ketiga, robba-yarubbu yang berarti mengishlah, mengurus dan memberi perhatian. 
Kemudian para ulama mengembangkan pengertian lughowi ini menjadi pengertian istilahi dari tarbiyah.Imam Baidhawi (685 H) mengatakan dalam tafsirnya "Anwarut-Tanzil Wa Asrarut-Ta'wil),(4) 'Makna asal dari kata "Robb" adalah tarbiyah yaitu menghantarkan sesuatu secara bertahap sampai tingkat kesempurnaan.' 
Dalam kitab Mufradat, ar-Raghib al-Ashfahani (5) mengatakan, 'Makna asal dari kata "Robb" adalah menumbuhkan mencetak sesuatu secara bertahap sampai batas kesempurnaan.'
Ustadz Abdurrahman Albani dalam tulisannya "Madkhal Ilat-Tarbiyah"(6) menegaskan bahwa kata "Tarbiyah" itu memiliki empat unsur makna :Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak. Kedua, mengembangkan potensi dan menyiapkannya.Ketiga, mengarahkan fitrah dan petensi tersebut secara baik dan sempurna.Dan keempat, tadarruj (bertahap) dalam menjalankannya sebagaimana yang diisyaratkan oleh Imam Baidhawi di atas.
Dari dasar-dasar pengertian tarbiyah di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Tarbiyah adalah sebuah amaliyah yang memiliki hadf (sasaran) dan ghoyah (tujuan)
2.  Murabbi yang sebenarnya adalah Allah swt yang telah menciptakan fitrah manusia dan menganugerahkan berbagai potensi kepada manusia. Dialah yang telah menggariskan konsep dan tuntunan untuk mengembangkannya sebagaimana Ia telah mensyari'atkan sebuah syari'ah (aturan) untuk mengatur pelaksanaannya.
3. Tarbiyah menuntut kita untuk membuat tahtith (perencanaan) yang bersifat tadriji (bertahap) dan munazhzham (teratur) sesuai dengan marhalah-marhalahnya.
4.  Tugas murabbi (pendidik) harus mengikuti dan tunduk kepada syari'ah (aturan) Allah dan tuntutan dien-Nya.

a.      Landasan Dalam Al-Qur`an
 Qur’an Surah Al-Imran Ayat 79

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَاداً لِّي مِن دُونِ اللّهِ
وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ



(4) Tafsir Mahasin al-ta`wil, cairo, darul al-ahya`, juz 1, hlm 9
(5) Kitab mufradat ar-rhagib al-ashfahami, hlm 49
(6) Ustadz Abdurrahman albani, Madkhal Ilat Tharbiyah, hlm 147
Artinya
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah beerikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia ‘hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahAllah’. Akan tetapi (ia berkata) : ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan  Al-Kitab dan disebabkan kaum mempelajarinya”
Penafsiran Al-Imran Ayat 79
Qur’an surah al-Imran yat 79dijelasakan dalam tafir al-Misbah karangan Prof.Dr.Quraishihab yaitu , sekelompok pemuka Kristen dan Yahudi menemui Rasulullah SAW. mereka bertanya : ‘Hai Muhammad apakah engaku ingin agar kami menyembahmu ?’ salah seorang diantara mereka bernama ar-Rais mempertegas, ’apakah untuk itu engkau mengajak kami ?’  Nabi Muhammad SAW  menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah dari penyembahan selain Allah atau menyuruh yang demikian. Allah sama sekali tidak menyuruh saya demikian tidak pula mengutus  saya untuk itu’. Demikian jawab Rasul SAW yang memperkuat turunnya ayat ini.
Dari segi hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya dapat dikemukakan bahwa setelah penjelasan tentang kebenaran yang sembunyikan oleh bani israil dan hal-hal yang berkaitan dengannya selesai diuraikan dalam ayat-ayat lalu dan berakhir pada penegasan bahwa mereka tidak segan-segan berbohong kepada Allah, dan ini juga berarti berbohong atas nama Nabi dan Rasul karena tidak ada informasi pasti dari Allah kecuali dari mereka. Maka disini diteg askan bahwa bagi seorang nabi pun hal tersebut tidak wajar.Bahwa yang dinafikan oleh ayat ini adalah penyembahan kepada selain Allah sangat pada tempatnya. Oleh karena apapun yang disampaikan oleh Nabi atas nama Allah adalah ibadah. Tidak wajar dan tidak tergambar dalam benak, betapapun keadaannya bagi seorang manusia, siapapun dia dan betapapun tinggi kedudukannya, baik Muhammad SAW maupun Isa dan selain mereka, yang Allah berikan kepadanya al-Kitab dan hikmah yang digunakannya untuk menetapkan keputusan hukum. 
Hikmah adalah ilmu amaliyah dan amal ilmiah, dan kenabian yakni informasi yang diyakini bersumber dari Allah yang disampaikan kepada orang-orang tertentu  pilihanNya yang mengandung ajakan untuk menegaskanNya. Tidak wajar bagi seseorang yang memperoleh anugerah-anugerah itu kemudian dia berkata bohong kepada manusia ‘hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah’. Betapa itu tidak wajar, bukankah kitab suci Yahudi atau Nasrani apalagi al-Qur’an, melarang mempersekutukan Allah dan mengajak menegaskanNya dalam zat, sifat, perbuatan, dan ibadah kepadaNya?.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
وَمَا اجتَمَعَ قَومٌ في بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتلونَ كِتابَ اللهِ وَيتَدارَسُونَهُ بَينَهُم إِلا نَزَلَت عَلَيهُم السَّكيْنَة وَغَشِيَتْهم الرَّحمَة وحَفَتهُمُ المَلائِكة وَذَكَرهُم اللهُ فيمَن عِندَهُ
“Dan tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu masjid dari masjid-masjid Allah, untuk membaca Al Qur’an dan mereka saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan, diliputi rahmat, dan dikelilingi malaikat, dan mereka akan disebut-sebut Allah dihadapan makhluq-makhluq yang ada di sisi-Nya (para malaikat).”
1.     Konsep Ta`lim
a.      Defenisi Ta`lim
Ta’lim,secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal, ta’limmerupakan proses pemberian pengatahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’.
a.      Landasan Dalam Al-Q`ur`an
            seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78 :
Artinya :
            “dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampain ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini mencakup aspek-aspek pengetahuan dan ketrampilan Tazkiyah annafsyang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.

1.     Konsep Tazkiyah
a.      Defenisi Tazkiyah
memiliki arti penyucian diri atau jiwa.
Secara bahasa, tazkiyah annafsberasal dari dua kata yakni tazkiyahdan nafs.
Tazkiyah berasal dari kata zakka-yuzzaki-tazkiyah yang maknanya sama dengan tathir yang berasal dari kata thahhara-yuthahhiru-tathir[ah] yang berarti pembersihan, penyucian atau pemurnian.   Sedangkan annafs adalah kata yang multimakna (musytarak). Dalam sebagian kamus bahasa Arab kata nafssering diterjemahkan dengan :
- Diri
- Jasad
- Jiwa, ruh atau kalbu.
Bahkan nafs pun diartikan dengan darah. Sehingga wanita yang melahirkan dikatakan sedang nifas.Artinya banyak mengeluarkan darah.
Secara istilah :  nafs dikemukakan Ibnu Abbas sebagaimana dikutip Ibnu Mazhur dalam kamus Lisanul Arab(7), bahwa manusia memiliki dua nafs:
1) nafs al a'ql (akal) yang dengan akal manusia mampu mengidentifikasi dan berpikir
2) nafs ar ruh yang dengan ruh ini manusia hidup.
Jika kita memaknai kata nafs secara bahasa semata, maka akan melahirkan perbedaan di dalam memahami konsep tazkiyah an nafs. Karena konsep yang dipahami berbeda, maka aksi yang dilakukan dalam rangka tazkiyah an nafs pun berbeda-beda.
Tazkiyah an nafs dalam Alquran
Dalam Alquran ada beberapa pengertian tazkiyah an nafs.
Pertama, menyucikan diri dari kemusyrikan dan kekufuran.
Dalam QS Al Jumuah [62] ayat 2, salah satu kata berbunyi yuzakkihim memiliki makna ”menyucikan diri dari najis dan kekufuran” (Ath Thabari, 28/93).
Najis di sini menunjukkan orang-orang musyrik (QS At Taubah [9]: 28). Sedangkan menurut Al Qurthubi kata yuzakkihim bisa bermakna ”menjadikan kalbu-kalbu mereka suci dengan keimanan”.
Kedua, bermakna ”menyucikan diri dari keburukan-keburukan amal perbuatan, dengan melakukan amal-amal saleh”. Abi Saud menyimpulkan dalam kata yuzakkihim merupakan tugas Rasul yang membawa manusia pada kesucian; suci akidah dan amal perbuatannya.
Ketiga, menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Menurut Al Qurthubi frasa ini bermakna ”siapa yang disucikan jiwa oleh Allah dengan ketaatan kepada-Nya”(9). Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Katsir.
Keempat, tidak memiliki dosa atau bertobat dari dosa-dosa (QS Al Kahfi [18]: 74).
Kelima, totalitas keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT (QS Thaha[20]: 76). Menurut Ibnu Katsir dalam ayat ini terdapat kata man tazakka yang bermakna menyucikan dirinya dari dosa, keburukan dan syirik.Hanya menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, senantiasa mengikuti segala perbuatan baik sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW.
                                      
(7) Kamus Lisanul Arab, hlm 127
(8) (Abi As Saud, 8/247). (Abi As Saud, 8/247).
(9) Dalam Q.S Asy-Syam ayat 60 terdapat frasa man zhakaha
Bisa kita simpulkan bahwa konsep tazkiyah an nafs mencakup dua poin penting yakni memurnikan keimanan kepada Allah SWT dan menjalankan ketaatan secara total kepada-Nya.
Maka jelas, konsep tazkiyah an nafs (penyucian diri/jiwa) mencakup :
aktivitas akal, hati, dan anggota tubuh.
Mencakup keimanan dan amal saleh.
Intinya, mencakup seluruh ketaatan kita dalam menjalankan perintah Allah secara total dalam seluruh aspek kehidupan.
Tanpa semua itu, hakikat tazkiyah an nafstidak akan memberikan pengaruh fundamental bagi kaum Muslimin, selain dalam tataran individu saja.
a.      Landasan Dalam Al-Qur`an
Salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam adalah untuk membimbing umat manusia dalam rangka membentuk jiwa yang suci. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala Q. S Al-Jumu`ah ayat 2:
Artinya :
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah).Dan sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata”.(Al-Jumu’ah: 2).
Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari akhir hendaknya benar-benar memberi perhatian khusus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).Ia harus berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke dunia ini tak lain adalah untuk menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat jelas pada jiwa para sahabat antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya.Sebelum mengenal Al-Islam jiwa mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah(fanatisme suku), dendam, iri, dengki dan sebagainya.Namun begitu telah disibghah (diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW, mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.
Keberuntungan dan kesuksesan seseorang, sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia men-tazkiyahdirinya. Barangsiapa tekun membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu diperkuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali berturut-turut, padahal dalam Al-Qur’an tidak dijumpai keterangan yang memuat sumpah Allah sebanyak itu secara berurutan. Marilah kita perhatikan firman Allah dalam Q. S Asy-Syams ayat 1-10 sebagai berikut:1
Artinya :
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan demi bulan apabila mengiringinya, dan malam bila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penciptaannya (yang sempurna), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”.(Asy-Syams: 1-10).
Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa nantinya harta dan anak-anak tidak bermanfaat di akhirat. Tetapi yang bisa memberi manfaat adalah orang yang menghadap Allah dengan Qalbun Salim , yaitu hati yang bersih dan suci.
Firman Allah dalam Q. S Asy-Syu`araa` ayat 88-89 sebagai berikut :
Artinya :
“yaitu di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (Asy-Syu’araa’:88-89).

"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan (yuzakkiikum, atau men-tazkiyah) kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)-Ku.” (Surah:2. Baqarah: 151-152)
"Orang jenius adalah yang mampu mengendalikan jiwa-nya dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan masa setelah kematian {orientasi ke depan]. Sementara orang bodoh adalah yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan atas pemberian Allah." (HR Thirmidzi).
"Siapa pun bisa marah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang bijak, bukanlah hal mudah." (Aristoteles).
Segala puji dan syukur bagi Allah Pencipta anusia dengan hati nuraninya yang demikian mempesona. Shalawat dan salam semoga tercurah senantiasa kepada qudwah hasanah kita tercinta pemilik hati termulia dan jiwa teragung, juga untuk keluarganya, para shahabat dan orang-orang yang berjiwa setia kepadanya
Al qur’an telah menyebutkan bahwa konsep tazkiyahmerupakan misi utama dari da’wah para Rasul yang Allah utuskan ke dunia. Ayat-ayat yang menjelaskan misi ini semuanya bermuara kepada satu kepentingan utama yang menjadi landasan keimanan seorang muslim yaitu pemurnian (tasfiyah) terhadap aqidah; at tauhid. Salah satu ayat yang dengan tegas menyebutkan perihal di atas adalah firman Allah ‘Azza Wajalla: QS.al Jum’ah:2. Allah berfirman yang maknanya:
“Dialah (Allah) yang mengutus seorang rasul, kepada kaum yang buta huruf (ummi) dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan (jiwa)mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah meskipun sebelumnya mereke berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al Jum’ah:2)
Di dalam menjelaskan makna ayat ini, Al Hâfidz Ibnu Katsir rahimahullahmengatakan bahwa, meskipun ayat ini berbicara dalam konteks bangsa Arab yang ummi(mayoritas buta huruf), namun secara khusus ayat ini sama sekali tidak menafikan kaum selain mereka. Hanya saja, mereka (bangsa Arab) telah diberikan nikmat yang lebih dari umat-umat lainnya. (Tafsîr Ibnu Katsir, jilid IV, hal.56) Kata; “wa yuzakkîhim (mensucikan mereka) pada ayat ini memberikan kejelasan misi kerasulan yang pada intinya adalah upaya untuk membersihkan manusia dari noda-noda kesyirikan, kejahiliyahan dan keyakinan lainnya yang menyimpang, dan demikian ini adalah penafsyiran jumhur ulama.
Melalui keterangan ini dapatlah ditarik benang merah kesimpulan di mana kedudukan tazkiyahdi dalam Islam adalah berfungsi sebagai upaya untuk membersikan jiwa manusia dari sesuatu yang dapat mengotori tauhid dari keyakinan yang salah, syirik, khurafat, bid’ah sertadosa-dosa lainnya yang disebabkan penyimpangan dari jalan yang lurus. Oleh karena itu segala bentuk konsep tazkiyah (atau yang sering dikenal dengan manajemen qalbu)yang dilakukan oleh individu maupun jama’ah mesti mengedepankan misi dan prinsip di atas.
Kesalahan fatal yang sering timbul dalam upaya mewujudkan pensucian jiwa ini adalah justeru timbulnya praktik-praktik ibadah yang memiliki tujuan dan cara yang tidak disyari’atkan. Ambil salah satu contohya adalah metode yang dikembangkan dalam konsep tasawuf. Konsep ini menawarkan jalan yang telah dibuat sedemikian rupa untuk meraih apa yang disebut dengan ma’rifah(melihat Allah), kasyaf(Terbukanya tabir antara Allah dan hambaNya), dan fanâ (lenyapnya keberadaan Hamba dalam diri Allah). Pada dasarnya konsep ini membenarkan upaya penyatuan diri dengan Allah sebagai tujuan akhir, baik dalam bentuk hulûl (mengklaim; Allah menyusup pada diri hamba), ittihâd(kesatuan manusia dengan Allah secara jasadiyah) atau wihdatul wujûd(mengklaim; alam ini adalah eksistensi dari wujud Allah).
 tegas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengkritik faham ini akibat pengaruh yang ditimbulkan dari filsafat kalam Yunani, dan ia mengkafirkan pelakunya karena bahaya syirik akbar yang ditimbulkan darinya.



4. Tilawah
a. Defenisi Tilawah
Sedangkan kalimat :
يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ
Mereka membaca Kitab Allah (yaitu Al Qur’an).”
Yaitu membaca lafazhnyadan maknanya. Membaca lafazhnya berarti membaca zhohir dari Al Qur’an tersebut, sedangkan membaca maknanya berarti membaca apa yang terkandung dalam Al Qur’an.
Orang yang berkumpul untuk membaca Al Qur’an ada dua makna :
- Yang pertama, mereka benar-benar dalam rangka membaca Al Qur’an.
- Yang kedua, mereka dalam rangka mempelajari ilmu Al Qur’an walaupun tidak membacanya. (10)
Kata يَتْلُو dalam kedudukan tashrif menduduki tempat ke dua yaitu sebagai fi’il mudhori’(kata kerja sekarang/akan datang) :
تَلَى – يَتْلُو – تِلاَوَةً
Maka didapatkan kata تِلاَوَةٌ tilaawah sebagai mashdar, yang secara tekstual bisa diartikan pembacaan.
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tilaawah al qur’an (membaca al qur’an) ada 2 macam :
- Tilaawah hukmiyyah, yaitu membenarkan segala khabar dari Al Qur’an dan melakukan segala ketetapan hukumnya dengan cara melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
- Tilaawah lafzhiyyah, yaitu membacanya (zhohir ayatnya-ed). Telah banyak dalil-dalil yang menerangkan keutamaannya, baik keseluruhan Al Qur’an, atau surat tertentu atau ayat tertentu. (11)


(10) Faidah dari Al Ustadz ‘Abdul Mu’thi Al Maidany hafizhahullah.
(11)Majaalis Syahr Ramadhan.
Maroji’ :
  1. Diterjemahkan semampunya dari Syarh Al ‘Arbain An Nawawiyah Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah, pembahasan hadits ke 36.
  2. 2. Diterjemahkan semampunya dari Majalis Syahri Ramadhan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah, pembahasan majelis ke 5.
b.Landasan Dalam Al-Qur`an
Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّ
“Sesungguhnya orang-orang bertilawah terhadap Kitab Allah”. (QS : Faatir [35] : 29)
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ
“Orang –orang yang Kami datangkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an), mereka bertilawah (membacanya) dengan benar”. (QS : Al Baqoroh [2] : 121)
Makna dari ayat ini mereka yang bertilawah Al Qur’an secara benar adalah dengan ittiba’/mengikutinya. Ibnul Qoyyim Rohimahullahmengatakan setelah memaparkan tilawah ada dua yakni tilawah lafdziyah dan tilawah makna(12),Intinya tilawah yang hakiki adalah tilawah/membaca makna dari ayat-ayat Allah, ittiba’/mengikutinya, membenarkan semua beritanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, mematuhinya seluruh tuntunannya”.
Kemudian Beliau Rohimahullah mengatakan ,“Tilawah makna kedudukannya lebih mulia dari pada sekedar tilawah lafdziyah(13), dan orang yang mengerjakannya adalah orang yang dikatakan sebagai ahli Al Qur’an yang teruntuk bagi mereka pujian di dunia dan akhirat.Sesungguhnya mereka itulah yang dikatakan sebagai ahli tilawah dan ittiba’ yang sebenarnya”.\









(12) Ibnul Qoyyim Rohimahullah, Tafsir Al-Azhar, hlm 125
(13) Tilawah Lafdziyah adalah m

8 komentar:

  1. Balasan
    1. oo sblmny mksi udh ngunjungi blog saya.... insyaallah kita posting

      Hapus
  2. ijin artikel anda saya jadikan rujukan postingan saya.trims
    visitme dinisked.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Masih ada yang jual buku madkhol ila tarbiyah ga ya. Mohon informasinya.

    BalasHapus
  4. Ada yg kurang tepat dalam mengartikan ayat 79 di surat ali imron

    BalasHapus