Kata “Mukjizat” menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arabأعجز yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”, sedangkan ة“” ta’ marbutah pada kata معجزة menunjukkan makna mubalaghoh (superlative).
Menurut kamus besar Purwo Darminto adalah “kejadian ajaib/luar bisaa yang sukar dijangkau oleh kemampuan manusia. Sedangkan menurut pakar agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa luar bisaa yang terjadi melalui seorang yang disebut Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang di tantangkan pada yang meragukan, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut”.Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan bahwa pengertian “Kelemahan” secara umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, sehingga nampaklah kemampuan dari “mu’jis”(sesuatu yang melemahkan).
Dan kata I’jas dalam konteks ini adalah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab beserta generasi-generasi setelahnya untuk menghadapi mu’jizatnya yang abadi( Al-Qur`an).
Dari definisi tersebut di atas dapat diturunkan beberapa pengertian diantaranya:
- Pertama; kejadian luar bisaa yang “sukar” dijangkau oleh kemampuan manusia, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana ke-luar bisaaan mukjizat?
Dan kata “sukar” pada definissi diatas menimbulkan probability tentang adanya kemungkinan bahwa manusia akan bisa sampai pada maqom sukar tersebut, bila demikian masihkah disebut mu’jizat?.
Dalam bukunya yang berjudul “Mukjizat Al-Qur`an” Quraish Shihab menjelaskan bahwa kejadian luar bisaa yang dimaksud adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang terdapat secara umum pada hukum-hukum alam (sunatullah) yang diketahui oleh manusia.
Namun demikian penulis lebih berpendapat bahwa semua keajaiban yang terjadi di alam termasuk mukjizat semuanya adalah rasional artinya bahwa sebenarnya akal mampu menerima kebenaran logis terhadap mukjizat.
Hal ini didasarkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur`an yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang gaib termasuk konsekuensi dari pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia besuk di hari pembalasan tetapi kenyataannya banyak manusia tidak percaya, tepatnya dalam QS: Yunus: 39 .
Dalam pengertian lain bahwa pengetahuan manusia tentang hukum sebab-akibat yang terdapat di alam hanyalah sebagian kecil dari hukum-hukum sebab akibat yang ada dalam pengetahuan Tuhan. Sebagai contoh adalah untuk mendapatkan hasil angka 7 bisa melalui 4+3 = 7 (hukum alam yang dapat diketahui manusia), sedangkang masih banyak sebab-akibat dari hasil angka 7 yang tidak dapat diketahui manusia karena keterbatasan pengindraan.
Misalnya 3+3+1=7, (2×2)+3=7, 10-3=7, 100-99+(2×2)+2=7 dst, yang semua sebab-akibat tersebut ditunjukkan oleh Tuhan maka manusia akan mampu memahaminya. Oleh karena itu termasuk kata “sukar” di atas kurang tepat. Karena yakin bahwa manusia dibatasi oleh hukum-hukum alam yang melekat pada dirinya.
Tetapi seandainya Allah memberikan penjelasan maka akal akan mampu menerima kebenaran tersebut, namun kenyataannya Allah tak memberikan penjelasan karena ada tujuan-tujuan tertentu yang tak mudah kita pahami.
- Kedua; melemahkan. Istilah ini juga menggoda pada kita untuk mengkaji ulang.
Diantara pendapat datang kaum Sirfah. Abu Ishaq Ibrahim An-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti al-Murtadha mengatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur`an adalah dengan cara shirfah (pemalingan).
Artinya bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Qur’an, padahal sebenarnya mereka mampu, maka pemalingan inilah yang luar bisaa yang selanjutnya pendapat ini di habisi oleh Qadi Abu bakar al-Baqalani ia berkata: “kalau yang luar bisaa itu adalah shirfah maka kalam Allah bukan mukjizat melainkan Shirfah itu sendiri yang mukjizat” dengan berlandasan pada QS. Al-Isra’:88.
88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain"
Berbeda dengan pendapat kaum sirfah, penulis lebih memandang melalui kaca mata dilalah siyaqiyah, bahwa makna “melemahkan-dilemahkan ” cenderung mengarah pada konteks menang dan kalah. Hal inilah yang menurut penulis kurang etis.
Dan ternyata kata melemahkan معجزة) يعجز–(أعجز tidak terdapat dalam Al-Qur`an. kalimat yang digunakan adalah أيت (tanda-tanda) dan بينات (penjelasan) yang dari kedua kata tersebut menurut Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA. mempunyai dua pengertian pertama; pengkabaran Ilahi (QS.3:118, 252/QS.6:4/ QS10:7dan QS.2:159/ QS 3:86/ QS 10:150). Kedua; tanda-bukti yang termasuk digolongkan mukjizat (QS.3:49/ QS.7:126/ QS.40:78/ QS.27:13 dan QS.7:105/ QS.16:44/ QS.20:72)8. yang menurut penulis sebenarnya jauh dari makna melemahkan atau bahkan mengalahkan.
- Ketiga; dibawa oleh seorang nabi. Seandainya peristiwa luar bisaa tersebut terjadi bukan pada nabi meskipun secara fungsi ada kesamaan dengan mukjizat, bisakah disebut mukjizat?.
Dalam buku yang sama Quraish Shihab menjelaskan, selain yang membawa nabi kejadian luar bisaa tersebut bukan dinamakan mukjizat. Beliau menambahkan kalau terjadi pada seseorang yang kelak akan menjadi nabi maka disebut Irhash, adakalanya terjadi pada hamba Allah yang taat yang disebut karomah, dan apabila terjadi pada hamba yang durhaka disebut Istidroj (rangsangan untuk lebih durhaka) atau Ihanah (penghinaan). Semua peristiwa tersebut adalah merupakan tanda-tanda dan bukti atas kebesaran Allah agar siapapun yang menyaksikannya baik melalui akal maupun hatinya dapat beriman kepada Allah.
- Keempat; sebagai bukti kerasulan. Kata “bukti” menyangkut percaya dan tidak percaya, seandainya seseorang telah percaya pada rasul bahwa Ia adalah utusan Allah, adakah masih disebut mukjizat?.
Dari definisi mukkjizat, makna “bukti atau tanda” inilah yang paling utama bukan lemah dan melemahkan karena tujuan risalah (kerasulan) adalah agar seseorang mampu memahami dan meyakini bahwa risalah tersebut benar-benar dari Zat yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT.
Adapaun bagi mereka yang sudah percaya terhadap kerasulan Nabi beserta apa yang disampaikannya yang berupa wahyu dari Tuhan maka peristiwa luar bisaa tersebut tetap disebut mukjizat. Sebab dimensi lain makna mukjizat(ketidak mampuan akal) tetap berlaku pada orang yang sudah percaya tersebut. Oleh karena itu fungsinya disamping sebagai “bukti” juga merupakan penjelasan dan pemantapan terhadap keyakinan seseorang.
- Kelima; mengandung tantangan.
Memang kebanyakan ulama diantara misalnya Syahrur juga melihat QS. Al-Isra’: 88 mengandung tantangan dan tantangan tersebut berakhir pada kelemahan mu’jas, namun hemat penulis bahwa sebenarnya Allah tidak hendak menantang orang-orang kafir. Bagaimana bisa Tuhan menantang mahluknya jelas inpossible, karena maksud dan tujuannya bukan untuk menantang. Dalam ilmu dilaliyah, conten analisis perlu meneropong gaya penuturan Autor, misalnya kalimat ” ayo kalau berani !” ( kondisi marah) mempunyai makna tantangan, sedangkan ” ayo kalau berani ” (kodisi tersenyum) bermakana menguji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar